Jumat, 08 Mei 2009

Yang Tidak Akan Pernah Tuntas

aku masih tidak ingin bangun dihadapanmu dengan kotoran mata dan mulut yang belum sikat gigi. Rasanya dia terlalu cantik untuk mendapat 'sarapan' itu. Walapun keringat mulai keluar dari pori-pori leher dan dada, aku masih bertahan sampai dia pergi meninggalkan sarapan diatas tempat tidurku. Dari balik sarung masih samar kulihat dia mengambil rokok dan korek yang kutaruh disamping tas ranselku. Setelah setengah berteriak bilang bangun untuk ke sekian kalinya, dia pergi ke arah matahari yang mulai menyegat kakiku yang terlentang diatas pasir.
sarung kulepas dan kulihat di atas matras piring yang ditutup daun serta mug dengan kertas dibagian atasnya. perlahan kubuka, piring plastik itu ternyata pisang goreng. mug bergambar tokoh kartun favoritnya juga penuh dengan busa cappucino. Sepertinya aku akan menikmati sarapan itu dengan gaya yang sedikit elegan. Aku berlari ke arah suara ombak sambil membawa peralatan mandi. Seperti hari-hari sebelumnya, berenang menjadi satu-satunya cara untuk membersihkan badan karena pulau itu tidak menyediakan air tawar. Air tawar yang diangkut dari daratan utama hanya digunakan untuk keperluan memasak dan minum. Aku sudah siap untuk sarapan dengan kemeja dan jeans membayangkan sedang berada di salah satu cafe. Untuk pertama kali setelah dua hari ada yang membawakan sarapan. Sambil memandang ke arah hamparan air yang tak berujung, satu persatu pisang goreng kulahap sampai tak tersisa sedikitpun gorengan tepung pisang. Aku memang lapar karena mataku baru bisa terpejam dini hari. Cappucino itu sudah kuhirup seperempat gelas. Aku teringat pada nikmatnya hisapan asap sambil menyeruput cappucino. Paling tidak aku bisa menghabiskan 3 batang untuk sisa cappucino itu. Mataku tertuju ke tempat rokok dan korek yang kusimpan di dekat ransel. Aku teringat, seseorang yang membawakanku sarapan mengambilnya diam-diam. Aku tahu sejak menginjakkan kaki di pulau, dia kerap menyinggungku soal rokok namun tidak langsung memintaku untuk berhenti. Pantas saja tadi malam, alasannya seribu satu macam saat kuajak untuk menunggu bintang jatuh di dermaga kayu yang reot bersama teman-teman yang lain. Tapi dia sangat manis hari ini. Aku tidak akan meminta kembali rokok yang disembunyikan. Meskipun masih memiliki 3 bungkus lagi, aku tidak akan menghisapnya sampai dia mengaku telah menyembunyikan rokokku untuk sebuah alasan. Lebih baik berpura-pura kehilangan rokok. Kira-kira apa yang akan kukatakan nanti jika bertemu dia? kalau bilang terima kasih atas sarapannya, dia bakal tahu sebenarnya aku sudah bangun. Jangan sampai dia menganggap aku tidak ingin melihat senyum dan mata lentiknya. Barangkali hari ini akan panjang tanpa asap sambil menunggu besok pagi. Kali aja dia masih membawakanku sarapan.

# Basir Daud

Tekdung Lalala..

Tik tok tik tik tok tik. Kotak musik Risa berhenti berputar setelah 32 detik. Pelan, patung penari balet kecil itu juga berhenti menari. Kepala patung itu berhenti di depan muka Risa, yang sedang berbaring malas di kamarnya.
Plok! Ditutupnya kotak musik itu.
Risa mendirikan badannya. Ia menatap ke atas, banyak gantungan burung-burung kertas yang seolah terbang di langit kamarnya itu. Malam itu begitu penat baginya. Ia merasa tak biasa di malam itu. Semilir angin menembus dari kolong udara jendala kamarnya.
Tak lama, ditundukkannya kepalanya tadi yang menengadah.
(Satu. Dua. Tiga.)
Tubuh Risa terduduk, kakinya melipat, kepalanya tertunduk lebih dalam. Rambutnya menutupi kepala.
Ketenangan kamar 4 x 6 meter persegi itu pecah oleh tangis Risa. Beberapa kali gadis kelas II SMA itu memukulkan tangannya ke lantai dan lemari. Tak sanggup ia menahan sedih dan kecewanya, ia membanting figura foto di samping tempat tidurnya ke lantai. Diambilnya sebuah silet dan mulai menyayat lengan kirinya.
Jam dinding di kamar Risa menunjukkan 02.12. Dua puluh tiga menit berlalu setelah ia melakukan sayatan pertama ke tangan kirinya. Kamar itu tiba-tiba hening kembali.
Di tangan kirinya yang berdarah dipegangnya test pack yang bergaris dua berwarna merah.


: Thomas Luvas

Bara di tanah Berapi

oleh : Sadhana

Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagi Gilang. Sekali lagi ibunya yang doyan ngeluyur itu membawanya ke warung yang tak jauh dari rumah mereka. Hari masih dingin tetapi suasana hangat telah ramai bertebaran dari senyum-senyum orang yang mereka temui di jalan. Di desa seperti itu memang mudah ditemui kehangatan, orang-orang kampung memang tak segan tersenyum walau dengan orang yang tak pernah mereka lihat sekalipun. Semua keceriaan pagi itu terpancar dari lesung pipi Gilang yang kala itu masih berusia 6 tahun. Dengan kakinya yang tak bisa diam Gilang barlari-lari di jalan yang jarang ada kendaraan itu. Digenggamnya uang lima ratus rupiah yang tak lain dan tak bukan adalah suatu kewajiban bagi ibunya untuk diberikan pada Gilang setiap hari Minggu.

Gilang tak sabar, sesampainya di warung dia langsung ucul meninggalkan ibunya yang mulai sibuk memilih sabun sambil mulai mencari bahan pembicaraan. Secepat kilat Gilang berlari ke warung seberang jalan, 20 meter dari warung tempat ibunya mulai bergosip bersama ibu-ibu lain yang juga sedang mencari bahan keperluan rumah tangga. Dari luar warung seberang itu Gilang berteriak-teriak memanggil seseorang. “Ginaa..Ginaaaa.......Gilang udah datang” ucap Gilang semangat. Teringat satu minggu yang lalu di hari yang sama Gilang berjanji akan menemani Gina bermain masak-masakan. “Selamat pagi Gilang, Gina masih mandi.....” terlihat ibu Gina keluar rumah sambil membawa kunci warungnya yang memang belum buka itu. “Duduk aja di situ..” kata ibu Gina lembut sambil menunjuk kursi kayu yang masih rapi tersusun di atas tanah yang masih basah. Rumah Gina yang terletak tepat di samping warung berukuran 4x6 meter yang terbuat dari batang bambu yang sudah tua. Ayahnya yang telah meninggal karena sakit tak sempat memperbaiki warung yang sekarang menjadi tumpuan hidup mereka. Sementara kakaknya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD tak dapat berbuat banyak untuk keluarga mereka.

Tersentak oleh suara angsa-angsa kecil di depannya Gilang pun buyar dalam lamunan tentang Gina. Tersenyum malu pada dirinya sendiri dia mulai sadar bahwa dia baru saja berkhayal, senyum-senyum kembang bermekaran dari lesung manis Gilang, tak seorangpun mengetahuinya. Dari pintu rumah yang juga terbuat dari bambu seorang gadis kecil yang telah lama ditunggu muncul juga. Gina, gadis kecil lugu pujaan hati Gilang yang juga masih berumur 6 tahun itu kemudian keluar rumah dengan cantiknya. Berpakaian rapi dengan pita biru di kepala, tersenyum manis dengan lesung di kedua sisi pipinya. “Waah, indaaahnya........” Gilang berbisik pada hatinya sendiri. Sejuta aster putih keluar dari senyumnya menyambut Gina yang baru keluar dari rumahnya setelah mandi dan berpakaian rapi sekali. “Gilang..........” sapa Gina lembut. “Kamu belum mandi ya?” Gina tersenyum melihat Gilang yang masih menggunakan cawat dengan corak garis-garis. Bau pesing bercampur sejuk angin berdesir melewati hidung mereka berdua. “Iyah............” sahut Gilang menganggukkan kapala sambil tersenyum malu. Wajahnya yang ceria itu tiba-tiba menjadi merah padam. Ada sesuatu yang membuatnya terbakar dalam senyum, rasa malu dan bahagia ketika melihat Gina membuatnya celingukan tak karuan. Pagi telah disambut senyum dua anak polos yang masih ingusan, hari dimulai.
.............................................................

Mataharipun tak lagi ragu menampakkan sinarnya, Gilang dan Gina pun asyik bermain di lapangan sebelah warung dengan penuh ceria. Ibu Gilang yang tak suka mengekang membuat Gilang bebas bermain dengan siapa saja termasuk Gina. Bagi ibu Gilang, masa kecil adalah masa di mana Gilang dapat bebas bermain sebelum Gilang menjadi dewasa dan mulai mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Sementara di sisi Gilang, yang ada di pikirannya hanyalah keceriaan bersama Gina yang manis, tak di hitung berapa banyak uang lima ratus yang hilang akibat berkejaran bersama Gina. Menyentuhnya , menggandeng tangannya, dan membersihkan luka di kakinya adalah sesuatu yang indah bagi Gilang. Rasa sayang yang kecil, tulus mengalir begitu saja selama bertahun tahun sampai mereka beranjak remaja.

Delapan tahun telah berlalu, Gilang yang dahulu polos dan penuh ceria kini telah menjadi remaja yang tampan dan tak banyak bicara. Tubuhnya yang tegap serta parasnya yang tampan membuat tak satupun gadis dapat berpaling dari pesonanya. Begitu pula dengn Gina, gadis kecil berpita biru yang dari dulu selalu bersamanya kini telah menjadi gadis remaja. Kata-kata santun yang biasa keluar dari lembut bibirnya membuat setiap orang semakin tergoda untuk memilikinya. Tak sedikit pria dan anak-anak remaja mencari tahu siapa pacar Gina. Dan kini, orang-orang itu, telah sepakat untuk menyebut Gina, remaja.

Pagi yang sama seperti delapan tahun yang lalu, sejuta aster putih masih terus saja mengalir setiap Gilang memandang Gina yang penuh pesona. Yaa, setiap pagi di hari Minggu, Gilang memang selalu datang untuk menjemput Gina dengan sepeda ontel peninggalan ayahnya. Sama seperti Gina, ayah Gilang juga telah tiada karna sakit yang menggerogoti tubuhnya. “Hai Ginn,.........udah siap?” tanya Gilang sesaat setelah kayuhnya berhenti di depan warung yang sekarang telah apik tampilannya. “Udah,..........cepet banget jemputnya” sahut Gina yang sebenarnya tahu bahwa Gilang tak pernah terlambat. Pagi itu seperti biasa mereka akan pergi ke lapangan tempat orang-orang biasa berolah-raga.
Udara yang masih dingin tak mengerutkan semangat Gilang untuk terus mengayuh sepeda. Sementara di belakang, Gina yang telah lama merasakan kasih sayang dari seorang Gilang tak lagi ragu untuk mendekap tubuh Gilang yang selalu hangat karna terus mengayuh. “Ginn,........kamu cantik ya” ucap Gilang terbata, memecah dingin yang tak henti mendera tubuhnya. Gina yang mendengar Gilang, tersenyum dari belakang. Kali ini juataan aster yang biasa mengalir untuk Gina menjadi mawar-mawar merah yang terbang hinggap pada tubuh Gilang yang dicintainya. Cubitan kecil yang Gina buat membuat Gilang gemetar menahan geli di perutnya. “Aauw, Ginn.....geli tauk!” seru Gilang memendam suka. Cubitan kecil itu telah menjadi tanda kalau Gina merasakan hal yang sama. Dalam hati Gilang terus berkata, malaikat mana yang akan tahan dicubit gadis kembang desa yang kini telah ranum raganya. Hangat tubuh Gina yang meresap melalui punggungnya semakin terasa lembutnya. Pikirannya terus melayang, mengikuti nalurinya sebagai jejaka yang kini telah beranjak dewasa. Sementara di belakang, Gina masih saja terhanyut akan kehangatan Gilang yang terasa tak pernah ada habisnya. Hari semakin terasa indah bagi Gilang dan Gina sampai suatu saat peristiwa itu terjadi.
...............................................................

Bruaak, Gilang dan Gina terjatuh dari sepeda. Barisan paku yang sengaja ditanam di tanah meletuskan ban sepeda mereka. Pagi masih sedikit buta saat Gilang mencoba membopong Gina yang terluka, kakinya yang halus itu kini mengeluarkan darah karena tergores gir sepeda. Dari kejauhan tampak 6 orang datang dari arah yang berbeda. Buuk, tiba-tiba Gilang merasakan pening di kepalanya, bintang-bintang berlarian ketakutan dalam hitam yang kini ada di pandangannya. “Gina..........” ucap Gilang mengawatirkan Gina sesaat sebelum bau tanah basah menyentuh hidungnya. Gelap, pekat, Gilang pingsan.
“Lang,.....Gilang....” suara Gina merintih di bawah kaki Gilang. Pakaiannya kotor, darah kering terpecah-pecah di kaki mulusnya. Gilang tersadar sejenak, pening yang masih berpendar di kepalanya sejenak terhapus saat mendengar Gina masih bersamanya. “Ginn...........” sahut Gilang saat merasakan Gina menangis memeluk erat kakinya. Suara Gina yang tak terbendung mengundang 6 orang yang berbincang di luar masuk dengan kasar.

“Heeh,.... sudah bangun kamu?” terdengar suara seseorang yang dibarengi dengan guyuran air dari atas kepalanya. Orang-orang yang tak pernah terlihat di kampung itu ternyata adalah tukang-tukang dari kota yang telah seminggu menyelesaikan borongan di kampungnya. Gina yang ketakutan langsung memeluk Gilang semakin erat, airmata yang mengalir deras membuat orang-orang itu semakin gemas ingin mengerjainya. Salah satu dari mereka menarik Gina yang telah tersobek, kain di bagian lengannya. Sarjo, lelaki hitam legam menarik Gina dari kaki Gilang yang hanya dapat membelalakkan mata. Dua orang di luar yang kemudian diketahui bernama Sudar dan Parta siaga menjaga ruangan yang ternyata adalah warung ibu Gina sendiri. Gilang teperanjat, “Bangsaaat kalian, tolooong.........” kata-kata yang tak pernah terucap itu tiba-tiba keluar dari mulutnya, melihat tiga orang lagi bernama Samin, Darmo dan Gara sibuk menutupi celah-celah warung, sedang jendelanya telah tertutup sangat rapat. “Anjing, berani kamu teriak begitu sama aku” plaak, Gara menampar wajah Gilang dengan kerasnya. Samin dan Darmo yang masih sibuk menutupi celah warung ikut panas, dipukulnya Gilang yang sudah tak kuat berdiri itu dengan bambu peniup tunggku hingga biru. Gilang yang tak kuat menahan sakit hanya bisa tertunduk tergantung di tiang yang biasa dijadikan tempat menggantung kerupuk itu.

Gina pingsan, tak tahan menahan bau lelaki hitam yang sedari tadi mendekap erat tubuh mungilnya itu. Satu, dua, tiga, satu bambu dan tiga celurit telah di siapkan untuk menghabisi Gina dan Galih jika berani berteriak. Siang itu, menjadi awal yang baru bagi cerita cinta Gilang dan Gina. Kakak Gina yang baru masuk rumah sakit karna terjatuh di sungai mendesak ibu Gina dan ibu Galih untuk segera ke kota. Sementara orang-orang kampung yang biasa hilir-mudik di depan warung sedang sibuk beramai-ramai ke lapangan untuk menonton pertunjukan Kuda Lumping.

Kampung sepi, sangat sepi, ibu Gina tak pulang, ibu Galih juga, satpam berjaga, di tengah kerumunan, jauh, jauh dari warung tempat Galih dan Gina terdiam, menangis, meronta dalam jiwa.

Byuuur, “Bangun njing,...!!” terasa segar dan perih air yang tiba-tiba membangunkan Gilang dari pingsan. Terlihat di depan Gilang sedang berdiri Sarjo, Samin, Darmo, dan Gara yang sedang memegang celurit dan timba. Menatapnya lekat dan menamparnya sesekali. “Bangun cepat.....” kata Darmo tak sabar ingin menuntaskan segalanya. “Ya Allaaaah……..” bergetar Gilang dalam jiwa yang runtuh, melihat Gina telah terbaring di atas meja-meja yang telah disatukan. Tubuhnya yang mungil serentak mengangkat birahi anjing-anjing hitam kampungan. Gilang yang telah diikat kaki, tangan dan tubuhnya dengan tampar sekuat senar, tak mampu lagi menahan runtuhnya kekuatan yang dia punya ketika melihat Gina, gadis lugu yang dicintai dilucuti bajunya. Pakaiannya tak lagi mampu menahan rona merah tubuhnya yang baru matang itu. Tak ada lagi selain tangis yang bisa keluar dari mulut Gilang saat Gina mulai sadar dari pingsannya.

“Gilaaaaang...... Gina takuuuuuut.” dengan tangis terisak Gina berteriak lirih saat Sarjo mulai melepas kain terakhir yang membungkus tubuhnya. “Gilaaaaaaaaaaaang” teriak Gina menyayat kulit-kulit Gilang yang yang terdalam. Plaak “Diam kamu....mau mati ya?” Sarjo menampar pipi yang sama-sekali belum pernah tersentuh kelembutannya oleh Gilang sendiri. Tubuh lembut dan ayu yang seharusnya menjadi milik Gilang itu kini mengejang menahan perih yang tak pernah diijinkan. Gina menjerit, menahan perih yang sengaja menindih. “Sakiiiiiit......” Gina memejamkan mata, menahan perih sambil mendongak pada-Nya. “Tuhaan........” rintihnya dalam hati.

Gilang terdiam, beku air matanya menyaksikan surga di rampas setan bergantian sedang pemiliknya terluka kesakitan. Terdengar Gina merintih saat tubuhnya mulai mengalirkan darah segar. Bukk, “Sudah cukup buat kamu” terdengar suara yang lain membentak sebelum akhirnya Gilang kembali pingsan. Pusing yang berulang-ulang membuat bintang-bintang mampu berkejaran lebih lama dari biasanya. “Gilaang.........” terdengar suara Gina semakin pelan memanggil jauh dari kegelapan mata Gilang. “Sakiiiiiit........” suara Gina mengakhiri tarian bintang, yang tinggal hanya kegelapan, tanpa suara.
...........................................................

Udara pagi yang dingin kembali datang, kali ini membangunkan Gilang dari tidur panjang setelah dihantam pukulan. Lapaar, ucapnya dalam hati. Tak sengaja Gilang mengelap darah yang kering dari bibir yang lebam, menyadari bahwa dia tak lagi terikat. Gina menghilang, 6 orang yang kemarin bersamanya juga tak tahu entah kemana. Dari luar, Gilang mendengar di depan warung ibu-ibu sedang ketakutan dan langsung pergi setelah membicarakan tentang gadis yang tergeletak telanjang di tengah hutan, darah yang keluar dari selangkangan dan mulut, biru di payudaranya membuat orang percaya bahwa ia tak lagi terselamatkan. “Ggg....ginaaaa........” Gilang menyebut nama Gina dalam tetes pertama air matanya pagi itu. “Ginnaaaaaaaa............” tersungkur di tanah basah Gilang menghadap ke atas, mencari Tuhan di antara rangka-rangka atap warung yang bisu. Dingin pagi tak lagi hangat karna pelukan Gina, tanah basah tak akan kering karna air mata. Gina, gadis kecil berpita biru dengan lesung di kedua pipinya kini tak lagi ada baginya.

Di tengah kebisuan yang menelan warung yang pengap dan rasa lapar yang tak terungkap. Terdengar di pojok belakang warung, “Praak...” sebuah botol pecah di sudut. Asap tercium di sudut ruangan, api yang dilempar dari botol minuman berisi minyak mulai membakar warung yang terbuat dari papan itu. “Bejaaat........ bangsaaaaaaaat....” jerit Gilang dalam hatinya yang merah membara. Di antara rasa marah dan putus asanya Gilang meronta. Lemas, tak ingin lagi membuka pintu yang tak terkunci sama sekali. Keinginannya untuk selalu bersama Gina membuatnya diam saja terkepung asap yang kian menyesak. Gilang hanya bisa terduduk di tanah, pasrah.

“Aku mencintai mu Gina..., Kala bara membakar sisa duka ku, aku masih di sini untuk mu. Tunggu aku Gina, akan ku jemput engkau disana, membawa mu kedalam surga yang kau berikan untuk menjadi milik ku.” “Aku mencintai mu Ginaa....” satu kalimat terakhir sebelum lembaran papan terbakar menimpa Gilang, membakarnya bersama kenangan dan luka yang tak kan tergantikan. Membakarnya bersama bara menyala yang tak akan pernah terpadamkan. Bersama putus asa yang dulu tak pernah diajarkan.

Sementara jauh di tengan hutan, di balik akar jati yang tinggi menjulang menyentuh langit, terdengar lirih dari gadis yang terluka lengannya terduduk sendiri, dengan darah yang keluar dari selangkangan dan mulut, biru di payudaranya, terisak menanggil satu nama. “Gilaaaaaang............Gina takuuuut”

Balikpapan 18 February 2009

di atas kursi yang rapuh

oleh : Sadhana

terduduk ku terdiam
ketika di uar orang sibuk menyalakan kembang
menetaskan kebisingan dari api-api yang tak kunjung padam

di selembar kertas kutulis cinta yang pupus
dalam hati kuteriak
ku tak ingin berpisah

seribu puisi takkan mampu mengungkap remuk hatiku
seribu panggilan kubuat
tetap jua tak terjawab
perih saat kudengar lirik lembut nada sambungmu

hatiku cuma ada satu sudah untuk mencintaimu
tolong jangan sakiti lagi nanti aku bisa mati
cintaku cuma sama kamu sayangku cuma untuk kamu
tolong jangan hancurkan lagi nanti aku bisa mati

terduduk ku terdiam
di atas kursi yang rapuh
hikmah telah tertampar luka yang tak pernah terjawab
ketika di luar orang sibuk menyalakan kembang
menetaskan kebisingan dari api-api yang tak kunjung padam

Pencuri Malam

Pagi ini aku diserbu oleh ribuan kupu-kupu
Yang berlari dari kadang buasmu
Menujuku, dan mulai menari dalam kemarahannya

Siang hari aku menjumpai debu-debu yang cemburu padaku
Berhembus tajam memagari langkahku
Menghujamku dengan penuh curiga

Dalam senja cahaya kemerahan seakan membentuk gugusan api
Lagi-lagi membahana meneriakkan namamu

Satu dunia kupetik dari jendela senjamu
Begitu indah kemilau bintang itu mengguyur cahaya hangat untuk mataku
Dan memutuskan untuk menyimpan semuanya hanya untukku


* sophie razak

Senja

Saat langit menelan matahari
Langit sesak dipenuhi jingga
Sebentar saja, lalu senja itu pergi

Bulan kelam tersenyum
Bintang berbaris menemani
Sebentar saja, lalu malam lekas berganti

Sepi kembali kembali membelai
Gelap mencemarkan rindu

* sophie razak

Sarapan Yang Pergi

: sendiri

Yang tertinggal kini hanya pisau
Yang tertinggal kini hanya roti dingin
Yang tertinggal hanya meja makan sepi
Sepertinya semua indera hampir buta

Yang tertinggal hanya susu tadi malam
Yang tertinggal hanya rambutmu sehelai
Yang tertinggal hanya aku
mimpi sendiri


Lovie Gustian
Balikpapan 28 April 2009
09:40 AM

Tersebutlah Kata

Air basahi puisi
Semua menyaksikan dia membasahi puisi
Semua merapal mantra
Agar dingin tak pegang kendali
Rasakan gigil karena dingin
Rasakan air mengalir mata
Lalu perlahan-lahan
Terdengar suara dari diri
Bersama pikiran yang bersiul-siul
Tak disangka.....
Laku tak datang aku
Terbenam dalam diri hingga jadi ilusi


Lovie Gustian
Balikpapan 31 Maret 2009
00:00

Wajah Sayu

: perempuan


Sesudah aku membuat tubuhmu bergetar. Dan apa hatimu juga bergetar. Seperti ingin pisahkan semua hal itu saat ini. Tapi, aku ada di dalam matamu, mengapa selalu seperti tak bisa lari dari itu. Wajahnya sayu. Sayu yang sombong, saat aku membukakan pintu bagi dirinya. Pintu yang terbuat dari kayu sekeras batu. Dan di hadapanmu wajah itu tak berjanji apa-apa. Kecuali pertanyaan begitu banyak tanpa pernah ada jawabannya. Pikiranmu hanya mencoba mengira jawabannya. Jawaban yang telah kehilangan kerahasiannya. Dan oleh setiap wajah lain yang sama seperti wajahku. Wajah yang selalu sayu itu ingin merapat dan memasuki wajah kalian. Terus mencoba membaca rautnya. Wajah yang telah dirias. Seperti riasan wajah perempuan berpupur menanti suaminya pulang saat hari mendekat gelap.


Lovie Gustian
16:00 PM

Cahaya Memukul Daun

: generasi hijau


Aku melihat bayang di dalam matamu. Karena setiap bayang yang ada, juga ingin aku punya. Bayang yang selalu memandang seperti membacaku. Yang hanya diam tak bergerak, ia akan tetap seperti tiang pembaca makna. Makna yang gemar sekali bersuara. Makna yang sering kau dengar ketika masuk dalam sebuah rimba raya. Sambil berjalan membawa gumpalan daging dan darah agar sampai ke tengah. Supaya bertemu dengan setiap makna yang kau dengar, juga yang ingin aku temui.

Dan di rimba raya (di tengah setiap makna yang kau dengar, dan ingin kau temui itu), kau tampak berbaur, bercampur dan menyatu. Sambil bersuara nyaring melengking. Jadinya, suaramu pun dibuar makna. Seperti buaran bentangan cahaya. Cahaya yang balik menerangi matamu. Dan matamu pun terus melihat apa saja yang dilihatnya. Menerangi dengan sesukanya. Dan menerangi dengan cara yang berbeda.

Belukar tak berakar, pohon tak berdaun, hewan-hewan jadi liar, bumi bertambah panas, orang-orang beringas. Merobek dan menghancurkan setiap jengkal rimba raya. Merubahnya jadi tak tentu. Dan dengan cahaya itu, kau tetap berdiri tegak sejajar keangkuhan yang menghancurkan semuanya.

“Dan apa cahaya semacam itu tak berbalik?,” aku bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja menerangi dengan cara yang berbeda. Sampai akhirnya, aku merasa (dan juga melihatnya), semesta telah mendering cahaya. Berganti dalam cahaya-cahaya yang tak terduga. Cahaya yang memukul daun (apa kita juga mesti kebingungan?) diantara semua itu, aku pun meminta balik bayang yang telah lama menatapku. Dan saat dia melihatku aku merasa itu bukan bayangmu. Sebab bayang itu terlalu berambigu bagi diriku.


Lovie Gustian
Balikpapan 26 April 2009
02:40 AM

Langkah Awal

: bicara sastra


#1
Kalian belum pergi ke pasar. Di dapur hanya ada peralatan masak berkarat, sudah lama tak panas. Tapi lihatlah para tamu mulai berdatangan. Mereka berbasa-basi kata dengan kita, awalnya renyah. Sepersekian waktu nanti mereka akan kasak-kusuk saling berbisik, menunggu, bila waktu akan kita hidangkan jamuan semu.

Perhatikan saja ruang ini jadi penuh bunyi sedang rumah yang kita tempati belum jadi. Dengarkan bisikan mereka membicarakan rumah kita, membandingkan dengan rumah mereka yang sudah tentu jadi buku. Sementara itu beberapa yang lain juga sibuk bicara apa jamuan yang kita hidangkan nantinya.

Mereka mungkin tak sadar saat beberapa dari kita sibuk untuk pergi ke pasar membeli bahan lalu meraciknya sendiri dengan melihat panduan lama. Menghaluskan bumbu lalu mencampurnya jadi kesatuan yang terikat. Kemudian menghidupkan perapian, “Memasaknya seperti apa?,” Kita hanya saling berpandangan.

#2
“ah…lihatlah kembali panduan itu,” kata seorang diantara kita. Kita membacanya kembali. Mencoba membaca lebih teliti. Ternyata didalamnya hanya terbaca bahan-bahan dan bumbu saja. ”Lalu bagaimana cara membuatnya?.” Hampir bersamaan kita berkata seperti itu.

Para tamu mulai ricuh diluar sana menunggu jamuan yang tak kunjung datang. Sejak tadi mereka hadir untuk datang dalam perjamuan kali ini. Mengharapkan sesuatu yang baru dari orang baru. “Hal ini memang untuk terlalu awal untuk jadi, tapi ini harus dimulai saat ini.” Lalu mereka mulai bersuara tinggi yang menulikan.

Pelan-pelan kita mulai menyelesaikan hidangan dengan cara kita, memasaknya dengan panas minyak kelapa yang tersisa. Aromanya telah sampai walau dengan penciuman berbeda. Membuat lapar mengalahkan sabar, dari awal hingga matang. “Keinginan yang muncul untuk mencicipi lebih dulu dari tamu.”

#3
Ternyata rasa punya makna yang berbeda-beda. Mula-mula ia datang di ujung lidah, akhirnya kita tak paham rasa itu berasal dari campuran mana. Semuanya jadi satu dan matang, setelah dimasak. Tapi itu semua itu berkat proses yang tak akan jadi tanpa adanya kesatuan. Semuanya tak bisa berdiri sendiri, jika ingin menjadi.

Akhirnya kita kembali memburu waktu yang sudah hampir duduk karena kelelahan, ia duduk di pojokan sepi. Menyiapkan pinggan, menyajikan makanan yang telah menebarkan aroma dimana-mana walau belum mencapai ujung lidah para tetamu. Rasanya yang diharapkan disukai atau bisa menambah warna. Bisa dikata, “,inilah cita rasa khas Balikpapan tercinta.”

“Mari silahkan dimakan,” sambil tersenyum kita mempersilahkan. Diantaranya mereka mulai tersenyum, dibayangi oleh senyum kita yang masih malu-malu. Menunggu komentar mereka sembari melihat waktu, berharap ini bisa dilewati. Walau sebenarnya kita berharap cemas tentang bias ataupun tentang kerutan-kerutan muka bisu, kita tetap berharap “,untuk langkah awal hari, mungkin hidangan ini bukan untuk kalangan sendiri..”


Lovie Gustian
Balikpapan 24 April 2009
17:00 PM

Buah Hati

Kusandarkan tubuhku pada sebuah pohon pinus yang memang banyak tumbuh di pinggir pantai ini. Angin laut yang begitu lembut berkali-kali menyibak rambutku yang panjang tergerai. Mataku tak hentinya mengamati jengkal demi jengkal butiran pasir pantai dan deburan ombak yang bersahutan. Aku sering mengunjungi pantai ini. Pun sendiri. Tanpa teman dan siapapun yang menemaniku. Ini memang sudah menjadi rutinitasku untuk melepas penat yang selalu terasa ingin membunuhku. Bukan hanya karena pantai ini menyimpan sejuta keindahan dan romantika. Tapi juga karena pantai ini jarang dikunjungi. Sehingga membuat aku lebih leluasa untuk bisa bermanja-manja dengan berbagai pesonanya. Aku beranjak meniti pasir pantai yang putih dan lembut. Aku dapat merasakan kehangatannya pada tiap pijakanku. Matahari yang semakin meninggi tak menyurutkan langkahku untuk bisa tetap bercengkrama dengan semua yang ada dipantai ini. Sesekali deburan ombak yang berkejaran itu membasahi pakaian yang kukenakan. Baju berwarna ungu muda model baby doll selutut yang terlihat semakin acak-acakan. Dan aku sama sekali tak berfikiran untuk merapikannya.

Sinar matahari yang semakin meninggi, terasa menyengat dikulitku yang kering tak terurus. Entah kapan terakhir kali aku menikmati massage, spa dan segala perawatan kecantikan yang rutin aku jalani di salon langgananku. Kuku tangan dan kaki yang biasanya terawat indah, kini mulai tumbuh tak beraturan. Rambutku yang biasanya harum, lurus dan tergerai indah, kini benar-benar terlihat acak-acakan. Kurebahkan tubuhku pada sebuah pondok yang menjorok kelaut. Berada di antara batu-batu besar membuatnya begitu mempesona.

Dan di pondok inilah awal aku mengenalnya. Seorang nelayan yang kebetulan singgah dan melepas penatnya dipantai ini. Mataku menerawang jauh.

Saat itu hujan tengah mengguyur dengan lebatnya. Perahu yang ia kemudikan seorang diri diikatkan disalah satu pohon yang berada di bibir pantai. Lalu iapun berlari ke pondok ini. Pondok dimana akupun tengah berteduh didalamnya.
“Permisi mbak. Saya boleh ikut berteduh?” tanyanya sopan.
Aku mengangguk malas. Meras tak ingin diganggu, karena aku tengah antusias menikmati hujan yang semakin melengkapi panorama pantai ini.
“Mbak sudah lama berteduh disini?” tanyanya lagi sambil membersihkan bajunya yang sedikit kotor.
Akupun hanya mengangguk acuh.
Sepertinya nelayan ini mulai malas mengajakku bicara. Mungkin dia tau kalau aku sedang tak ingin diganggu. Sementara hujan semakin deras saja. Aku mulai jengah. Aku harus segera pulang sebelum matahari tenggelam.
“Kalau senja disini pasti indah sekali. Matahari biasanya tenggelam disana” ungkapnya sambil menunjuk kearah kanannya. “Lebih indah lagi kalau kita lihat diatas batu besar yang ada diatas sana” sambungnya lagi.
Tanpa sadar aku ikut menoleh dan melihat ketempat yang ia tunjukkan. Batu besar yang indah. Kenapa aku baru tau?.
“Mas sering kesini juga?” tanyaku. Akhirnya aku menyerah. Aku tak mungkin lama-lama membisu dengan nelayan ini. Tak ingin dia menganggapku benar-benar bisu.
Dia mengangguk.
“Nama saya Rama. Nama mbak?” tanyanya sambil menjulurkan tangan kanannya yang basah oleh air hujan. Menyadari hal itu, ia segera mengeringkan tangannya pada baju yang ia kenakan.
Aku tersenyum.
“Nila” jawabku singkat. Sambil membalas jabatan tangannya.
Aku duduk mendekat disampingnya sambil menawarinya permen mint yang selalu kusediakan ditas tanganku. Berbagai ceritapun mengalir dari Rama. Ternyata dia juga sama sepertiku. Menyukai pantai ini dan merasa memilikinya. Akupun tak mau kalah menceritakan kekagumanku pada pantai ini. Juga kesibukan dan kepenatan yang menghantarkanku kesini. Sesekali kami tertawa renyah. Seperti dua sahabat yang lama tak bersua. Tapi hujan mulai berhenti. Kamipun berpisah dan kembali dengan rutinitas masing-masing.

Aku terpaku. Menatap batu yang Rama tunjukkan padaku diawal pertemuan kami itu.
Di tempat itulah kami mengikat janji. Saat matahari hampir tenggelam, setelah setahun aku mengenalnya. Tentu saja aku dan Rama sangat bahagia. Apalagi kedua pihak keluarga kamipun merestui.

Sejak hari itu, aku dan Rama semakin tak terpisahkan. Terkadang Rama yang menemaniku menjalani aktifitasku sebagai seorang reporter. Dan tak jarang pula aku menemani Rama melaut. Hari-hari yang penuh dengan kebahagiaan. Tapi semua itu tak berjalan lama. Ternyata keluargaku tak benar-benar bisa menerima Rama dan profesinya. Menurut mereka menjadi seorang nelayan adalah suatu hal yang tabu. Tentu saja karena latar belakang keluargaku yang notabene adalah keluarga terpelajar. Sering kali aku harus menelan ludah atas cemoohan mereka. Seorang reporter surat kabar terkemuka bersuamikan seorang nelayan. Apakah salah? nelayan juga sebuah profesi yang mengagumkan. Penuh tantangan, perjuangan dan resiko. Lebih mengagumkan ketimbang menjadi perampok atau pencuri. Toh Rama telah berusaha bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Walau memang penghasilanku perbulan lebih besar daripada penghasilan Rama. Tapi itu tak menjadi persoalan. Lagipula, Rama selalu berusaha memenuhi semua kebutuhanku dengan pekerjaanya sebagai seorang nelayan.

Kebahagiaan kami hampir sempurna dengan kehadiran sesosok malaikat berwujud janin dirahimku. Ya, dirahimku. Aku akan menjadi seorang ibu. Memang baru empat minggu kehamilan. Tapi aku sudah tak sabar ingin menggendongnya. Sejak itu pula Rama semakin perhatian dan giat bekerja untuk tabungan kelahiran malaikat kecil kami. Tapi bukan berarti hubunganku, Rama dan keluargaku membaik. Justru mereka semakin gencar mencemoohku. Dan memaksaku membujuk Rama mencari pekerjaan lain. Padahal mereka tau bahwa Rama bekerja sebagai nelayan untuk meneruskan keahlian yang diturunkan turun temurun di keluarganya.

Tapi permasalahan itu tak menggoyahkanku. Sebisa mungkin aku membuat diriku tak hanyut dalam permasalahan yang ada. Aku lebih memilih mengikuti saran dokter agar selalu rileks demi menjaga kandunganku yang baru seumur jagung. Aku begitu menikmati saat-saat awal kehamilanku. Ramapun begitu memantau kehamilanku setiap saat. Rama juga memintaku berhenti bekerja agar bisa total menjaga kehamilan buah cintaku dan Rama. Sekali waktu aku mengantar kepergian Rama melaut, menunggunya, membawakannya bekal dan makan siang bersama dipondok ini. Saat-saat yang paling mendebarkan adalah ketika kehamilanku berumur dua puluh minggu. Kala itu aku memeriksakan kandunganku ke dokter. Aku dan Rama mulai dapat mendengar detak jantung dan gerakan-gerakan kecil dirahimku. Apalagi hasil Ultrasonografi membuktikan bahwa aku mengandung bayi laki-laki.Betapa bahagianya kami.

Perutkupun mulai membesar seiring bertambahnya usia kehamilanku. Aku mulai merasakan gerakan-gerakan yang semakin aktif dari rahimku. Seakan menyadarkanku bahwa kehadirannya benar-benar nyata. Ia menyapaku dengan tendangan-tendngan kecilnya didinding rahimku. Rama juga sering mengajaknya bercanda. menggodanya dan menghujaninya dengan kata-kata mesra. Ramapun cuti melaut saat usia kehamilanku menginjak bulan ke delapan. Rama begitu total menjagaku dan malaikat kecil didalam kandunganku. Ia tak lagi memperbolehkanku menyentuh pekerjaan rumah yang biasa aku kerjakan. Semua berganti dikerjakan olehnya. Terkadang aku tak sanggup membendung air mataku melihat ketulusan, kegigihan, dan pengorbanannya untuk keluarga kecil kami. Kebahagiaanku hampir lengkap. Andai saja keluargaku melihat semua ini. Mereka pasti akan belajar untuk lebih menghargai Rama.

Sembilan bulan penantian ini akan segera berujung pada kebahagiaan. Kata dokter, dalam beberapa hari ini aku akan segera melahirkan. Karenanya, aku harus lebih menjaga kesehatan. Ramapun lebih rajin membawaku kepantai ini agar aku bisa menghirup udara segar. Tapi yang berbeda, kami ke pantai ini dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak rumah yang kami tinggali tidak terlalu jauh dengan pantai ini. Kata orang tua, jalan kaki menjelang kelahiran itu mempermudah proses kelahiran. Dan kami juga duduk disini, di pondok ini. Menanti senja.

Harinya tiba. Sakit semakin sering kurasakan. Seperti ada benda keras yang meronta ingin keluar. Sakit yang rasanya tak bisa kujelaskan. Mungkin malaikat kecilku sudah tak sabar ingin menghirup udara yang berbeda. Rama dengan tenang menemaniku. Menenangkan dan menyemangatiku bahwa sebentar lagi aku benar-benar akan menjadi seorang ibu. Ia juga seperti ikut terhanyut dalam sakit yang kurasakan. Peluh membanjiri tubuhnya yang tegap. Ramapun membawaku ke Rumah bersalin terdekat agar aku segera mendapat pertolongan. Tak sedetikpun ia melepaskan tanganku dalam genggamannya. Mungkin ia sadar bahwa aku takkan bisa menjalani ini semua sendiri. Detik-detik menjelang kelahiranku, keajaiban itu muncul. Keluargaku dan keluarga Rama berkumpul untuk menyemangatiku. Beberapa detik lagi lengkaplah sudah kebahagiaanku.

Saat persalinan yang menegangkan. Rama tak hentinya menyemangatiku. Rama diperbolehkan mendampingiku pada proses persalinan. Tuhan, seperti inikah pengorbanan seorang ibu? setelah sembilan bulan menjaga benih di kandungan, kini pun harus berjuang bertaruh maut.
“Sayang, kamu harus kuat. Lihat, bayi kita sebentar lagi lahir” mata Rama berkaca-kaca.
Huff… Aku lelah.. Kekuatan dan semangatku terkuras tak bersisa.
1 jam telah berlalu semenjak pecah ketuban, bayiku tak kunjung lahir. Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga. Pihak rumah bersalin kini mulai panik. Berbagai macam alat dipasangkan ditubuhku yang semakin melemah. Aku bersikeras untuk bersalin secara normal. Tapi pihak rumah sakit memintaku untuk bersalin dengan jalan operasi. Mereka takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kata mereka, lingkar pinggul yang sempit sangat menyulitkan proses kelahiran secara normal. Dan entah karena masalah apalagi, rahimkupun harus diangkat. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku menyerah. Apapun akan aku lakukan untuk malaikat kecilku. Aku rela meregang nyawa demi melihat senyumnya. Juga senyum semua orang yang akan tersenyum padanya.

Kuseka air mata yang mulai melinangi pipiku. Tak sanggup mengingat semuanya. Kututup wajahku dengan kedua tanganku yang telah basah dengan airmata. Sepertinya aku sudah benar-benar gila.

“Sayang, sudah sadar?” Rama mengelus rambutku, penuh kasih sayang.
“Anak kita mana? sudah lahir?” tanyaku lemah.
Rama mengangguk. Senyumnya mengembang.
“Aku boleh gendong dia?” pintaku lembut.
Rama menggeleng.“Belum waktunya. Kamu masih lemah. Kamu harus sehat dulu!” Rama menghiburku.

Tapi Rama bohong. Aku takkan pernah bisa menggendong bayiku. Menggendong malaikat kecil yang aku kandung selama sembilan bulan dengan mempertaruhkan nyawaku. Aku tak bisa memeluknya, merengkuhnya dan melihat senyumnya. Tuhan telah mengambilnya. Mengambilnya dariku dan Rama. Aku tau Tuhan punya rahasia untuk hidupku. Tapi apa ini adil? Aku benar-benar tidak bisa menerima kenyataan ini.

Dan sejak kepergian malaikat kecil yang tak sempat ku peluk itu, hubunganku dan Rama merenggang. Aku lebih emosional. Apapun yang terjadi selalu aku sangkut pautkan dengan kematian bayiku. Semua hal yang terjadi selalu bisa memancing emosiku. Terkadang aku kasihan pada Rama. Ia jadi pemurung. Hingga suatu hari aku bertengkar hebat dengan Rama. Pertengkaran yang selalu menghantuiku hingga detik ini.
“La, bayi kita itu disayang sama tuhan. Makanya dia diambil terlebih dahulu. Sebelum dia sempat berbuat dosa!” nada bicara Rama mulai meninggi.
“Tapi kenapa harus kita? Kenapa harus bayi kita?!” teriakku.
“Nila! itu kuasa Tuhan! kamu nggak boleh bicara seperti itu. itu sudah kuasa-Nya! Kita harus ikhlas La!”.
“Aku nggak bisa ikhlas Ram. Aku belum sempat menggendongnya! Aku belum sempat melihat wajahnya, senyumnya, bentuknya seperti apa aku juga nggak tau! Aku ini ibunya Ram. Aku mengandungnya selama sembilan bulan. Kenapa kamu dan orang-orang itu tidak memiliki hati untuk memberi tahuku lebih awal? sebelum bayi kita dimakamkan?!” teriakku. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Kami nggak bermaksud seperti itu. Kondisi kamu saat itu melemah. Jadi kami pikir kamu tidak perlu tau dulu!” Rama menjelaskan.
“Dengan santainya kamu bilang aku nggak perlu tau dulu? Hei, Aku ini ibunya Ram! AKU IBUNYA!!” emosiku memuncak..”Dia nyawaku Ram!! Kamu tau betapa bangganya aku saat tau bayi dirahimku adalah bayi laki-laki. Seorang jagoan yang akan menjadi pendampingmu untuk melindungiku. Dia akan menjadi satu-satunya hal yang membuatku bangga menjadi seorang ibu. Kamu nggak lupa kan Ram? Rahimku sudah diangkat. Nggak ada lagi yang bisa kubanggakan sebagai seorang wanita dan istri. Lebih baik aku mati Ram!!”.
“Semuanya sudah terjadi La. Kita tak bisa mengulangnya kembali” Rama pasrah.
“Tapi sakit ini akan membekas sampai kapanpun!!” teriakku histeris.
Rama terdiam.

Tanpa sadar, ku ambil sebilah pisau dari dapur. Aku berniat menyudahi catatan sejarah kehidupanku. Desir nafasku semakin memburu. Tanpa berfikir panjang, kuarahkan pisau itu tepat di perutku. Kupejamkan mataku mencoba menghirup udara terakhirku. Perlahan tapi pasti ku tancapkan pisau itu. Beberapa detik kemudian, kucium aroma kematian di ujung pisau yang masih kugenggam. Kubuka mataku perlahan dan menyaksikan tubuh belahan jiwaku tergeletak diatas badanku. Darah segar meluber membasahi tanganku. Aku pikir sesuatu yang menindihku tadi adalah malaikat pencabut nyawa. Tapi ternyata, Rama…!!

“Orang gila… orang gila!!” teriak sekelompok anak yang tengah bermain air dihadapanku, menyadarkanku dari lamunan panjang. Ternyata hari mulai gelap.
“Orang gila… orang gila…!!” mereka terus berteriak.
Tiba – tiba aku sangat rindu pada Rama. Jika disini ada Rama, pasti dia akan melindungiku.
“Rama… maafin aku. Maafin aku Rama. Kenapa kamu melakukannya?!!” teriakku. Tangisku pecah.
“Orang gila… orang gila…!!” teriak anak-anak itu semakin keras. Mereka mulai menariki bajuku. Anak-anak itu juga mulai nakal. Mereka melempariku dengan batu. Aku hanya menghindar sekenanya.
“Ramaaaaaa!!!” teriakku. Aku terus berteriak histeris. Berharap sosok itu datang.
Tiba-tiba aku merasakan ada sebuah sentuhan dari seseorang yang sangat aku kenal.
“Sayang, ayo pulang. Sudah mau malam. Kasian tuh jagoan kita, udah ngantuk” suara itu begitu nyata ditelingaku.
“Rama…!!” kataku sambil menyeka air mata. “Iya nih dedenya mau bobo. Eh nggak. Mandi dulu biar harum. Abis itu baru main sama ayah. Liat sayang. Ayah jemput kita” senyumku mengembang.
“Wuih, orang gilanya ngomong sama siapa?!” kata salah seorang anak itu.
“Dasar orang gila” seru yang lain.
“Orang gila..!!! Orang gila!!!” suara mereka membahana.

DI PANTAI KUTA

Kita sudah kenyang menghirup angin laut, kenyang tertawa dan kenyang memaki orang yang lewat.
Kemudian kau sibuk menyimpan pasir, seolah pasir di pantai akan habis disapu ombak besok.
Tepi pantai yang memanjang sampai ke pelabuhan, tak berbatas, tak putus-putus.
Engkau berdiri menantang matahari, mencabik-cabik udara, sesaat kau lupa siapa sebenarnya dirimu.
Aku dan kamu bertelanjang kaki, kutemani kau menangis diatas karang-karang.
Aku sebenarnya muak menjadi bayang-bayangmu, sebab kau sudah terikat pada pesona pantai kuta.

DENPASAR,08-10-07

SILUET ORANGE DI ATAS KENINGMU

Oleh: Mary Ana

Ada banyak hal yang kuketahui,
Tentang syairmu yang menalun di ayun oleh angin
Tentang nyanyian yang kau lagukan lirih bersama ilalang
Dan tentang angan yang sedang kau lukis dalam kata

Tapi mengapa ada satu hal yang tak dapat aku mengerti.
Ketika kulihat engkau terpaku dan siluet orange membayang membentuk ukiran dikeningmu.
Kemudian aku dan dirimu menari diantara haus dan lapar.
Sedang panas matahari terus membakar di atas kepala kita.
Siluet orange di atas keningmu itu terus mengikuti, disenyummu, ditawamu, ditangismu.
Lalu aku berhenti menari karena lelah, tapi kau terus menari dan menari.

PANTAI SENGIGI LOMBOK,11-10-07

PAGI HARI DI LABUHAN HAJI

Oleh: Mary Ana

Aku tahu bahwa suatu hari kita akan berpisah.

Untuk beberapa tahun mendatang

Kita tak akan pernah lagi bertemu

Melintasi senyummu bagai malaikat yang membawa embun pagi

Aku ingin menyentuh bibirmu tapi aku takut kau tampar aku

Dengan meninggalkan luka yang menganga.

Kemilau kala matahari terbit menjadi jingga waktu kau tidur, sedangkan

Air laut jilati telapak kaki.

Pernahkah kau rasakan peluk ketakutanku ketika kulihat kau menjerit memaki dunia.

Kaulah satu-satunya orang yang membuat hatiku bergetar bila ku sebut namamu.

Lombok. 12-10-07

Se-Putih Hati

Balikpapan 14 April 2009

Oleh: Rizky Nuryaning Diah

“Ibuuuuu….!!” teriakan keras gadis itu menyentakku. Aku terlonjak, meski tak dapat melakukan apapun.

”Ada apa sih Ca...” wanita separuh baya yang dipanggil ibu tergopoh-gopoh mendatangi gadis itu.

”Ini...” rengeknya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arahku. Tatapan matanya begitu tajam.

”Tinggal diusir aja susah banget sih.” wanita itu lantas mengibaskan tangannya untuk memintaku menjauh.

Akupun beranjak meninggalkan sepotong ikan yang belum selesai kusantap. Sejenak aku menoleh untuk memastikan keberadaan gadis itu. Barangkali aku masih bisa kembali untuk menyelesaikan santapanku.

Ternyata gadis itu masih terus menatapku. Tatapan yang lembut tapi sangat tajam. Nyata sekali ia tak mengharapkan kehadiranku. Padahal aku hanya berusaha untuk melanjutkan hidupku. Aku tak ingin mati kelaparan. Setidaknya aku ingin mati dalam keadaan yang baik, sama seperti manusia.

”Jangan kesini lagi...” desis gadis itu sambil terus menatapku. Memang tak ada gunanya aku tetap berada disini. Toh, aku tak mungkin lagi mendapatkan jatah makan. Semoga saja ada rumah lain yang menerimaku dengan lapang dada. ”Aku nggak suka binatang.” tatapnya nanar. Akupun melengos, sekedar untuk menegaskan bahwa aku tak akan mengganggunya lagi. Aku sudah sangat berterima kasih atas sepotong ikan yang akhirnya bisa mengisi lambungku yang telah 2 hari ini kosong.

Cukup wajar bila gadis itu tidak menyukaiku. Gadis itu sangat rapi, harum dan bersih. Sementara aku, dekil dan bau. Bulu-buluku yang berwarna putih menjadi kecoklatan. Belum lagi beberapa luka menganga yang ada ditangan dan kepalaku. Sangat menyedihkan. Sebagai salah satu penghuni bumi, aku tak hanya berhadapan dengan manusia, tapi juga sesama binatang yang juga sibuk mempertahankan kehidupan. Tapi aku masih bersyukur bisa menikmati hidup. Bagiku bisa menghirup udara saja adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan.

*********************

Siang ini begitu terik. Bersyukurlah aku memiliki bulu-bulu yang melindungi pori-pori tubuhku hingga tak langsung merasangan sengatan panasnya. Aku yakin, Penciptaku telah sesempurna mungkin menciptakanku.

Aku merebahkan tubuhku yang bersimbah penat di atas sebuah kursi taman. Tempat yang sangat nyaman. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk binatang sepertiku. Tak hanya aku, tapi juga ada beberapa binatang yang tengah bersantai di taman ini.

Meooong.... mmeeeooong....

Kami saling bersapa dengan sebuah lengkingan. Itulah cara kami berbicara. Cara yang telah ditentukan sang Pencipta kepada makhluk seperti kami.

”Aduuhhh... tempat duduk kita sudah dikuasai. Telat deh!” seru gadis berjilbab biru muda kepada seorang gadis sebayanya yang mengenakan jilbab warna putih. Mereka terlihat sangat teduh, anggun dan penyayang.

”Ya sudah, kita cari tempat duduk lain aja. Kasihan, sepertinya dia sedang istirahat. Jangan diganggu.” gadis yang berjilbab putih itu meraih tangan gadis yang berjilbab biru muda. Sepertinya mereka mengiraku sedang terlelap. Padahal aku memang terbiasa beristirahat dengan menutup kedua kelopak mataku.

Kedua gadis itu berlalu meninggalkanku dan beralih menempati tempat duduk yang berada tak jauh dari kursi tempatku bercengkerama. Terlihat mereka begitu asyik bercanda dan bercerita. Tapi gaya bicara mereka berbeda dengan yang gadis-gadis seumuran mereka yang kerap kujumpai di jalan-jalan. Lebih tertata dan menyejukkan.

Sesekali mereka tertawa riang dan membenahi letak jilbab yang mereka kenakan. Senyum merekapun tak kalah meneduhkan. Sayangnya aku tak tau bagaimana cara tersenyum. Padahal aku ingin sekali menyunggingkan senyum seperti yang bisa manusia lakukan. Entah mengapa banyak manusia yang tak bersyukur atas karunia senyum yang telah dianugerahkan kepadanya. Padahal, dibeberapa kesempatan aku pernah mendengar bahwa senyum itu adalah sedekah dan sedekah adalah sebuah ibadah. Berarti senyum adalah ibadah.

”Eh, dasar nggak punya otak!! Kursi ini dibuat untuk manusia, bukan buat binatang! Kamu itu kotor! Bau pula! Ihh...” cemooh seorang gadis berambut pirang merusak istirahatku.

Aku menggeliat. Masih tak ingin beranjak. Luka-luka ditubuhku masih terasa sakit. Mungkin karena saat diperjalanan tadi aku sempat terinjak oleh seorang Bapak yang tidak menyadari keberadaanku.

”Eh, nggak tau diri banget sih?! Pergi sana!” seru seorang gadis yang bertubuh langsing bak model yang sering muncul ditelevisi.

Tangan gadis berambut pirang menjawil telingaku dan melemparkanku ke semak-semak yang berada di belakang kursi yang tadi kududuki.

Meooooooooong...

Lengkingku panjang. Menahan sakit yang semakin menghujam. Perlakuan seperti ini telah sering kualami, hingga aku cukup kebal mnghadapinya. Manusia memang susah ditebak.

”Allahu akbaar!! Mbak jahat sekali...” gadis berjilbab putih bangkit dari tempat duduknya dan merengkuhku.

”Siapa kamu? Kita kenal? Atas dasar apa kamu menyebut saya jahat?”

”Saya Nayla Putri, panggil saja Putri. Yang itu teman saya, namanya Kira.” ia memelukku erat. Bahkan ia tak terlihat jijik sama sekali dengan keadaanku. ”Masya Allah mbak, binatang itu juga makhluk ciptaan Allah. Mbak nggak berhak kasar seperti itu. Lagi pula, binatang semanis ini adalah binatang kesayangan Nabi.”

”Hah?! Dekil gini dibilang manis? Kamu buta?“

"Dekil itu hanya karena lingkungan mbak. Itu karena hidupnya tidak terurus. Sama seperti manusia. Jangan hanya karena dekil, lantas kita tidak mengasihinya!”

”Atur saja lah. Yang pasti dia nggak ganggu kita!” timpal gadis bertubuh langsing, menengahi.

Gadis yang kini kuketahui bernama Putri itu lalu membawaku menjauh dari taman. Temannya, gadis berjilbab biru muda bernama Kirapun ikut serta.

”Mau dibawa kemana, Put?” Kira menyentuh kepalaku hangat. ”Masya Allah..!!” ia terkejut begitu mendapati luka yang ada di bagian kepalaku.

”Biar kita obati di rumahku.” Putri semakin mempercepat langkahnya.

*********************

”Ibuuu!!!” teriakan nyaring itu membuatku terlonjak. Andai saja aku memiliki penyakit jantung seperti manusia, pasti aku telah mati karenanya.

”Kenapa lagi Ca?” wanita separuh baya itu kembali muncul dihadapanku. Sepertinya aku baru saja mengalami hal serupa.

”Kak Putrii...” gadis itu kembali merengek. Ada bulir bening menyeruak dikedua pelupuk matanya.

Putri tak menggubris perlakuan gadis itu. Ia bergegas membawaku ke ruang lain di rumah yang sama. Lalu ia meletakkan aku di sebuah sofa. Tangannya dengan sigap meraih kotak bertuliskan P3K yang terletak tepat di samping sofa. Temannya yang sedari tadi bersama kami kini telah kembali ke rumahnya. Sepertinya ia tengah terburu-buru. Mungkin ada sesuatu hal yang harus segera ia selesaikan.

”Kakak kenapa bawa dia??” tangis gadis itu pecah.

”Kakak kasihan. Dia membutuhkan pertolongan. Kalau tidak bisa saja dia mati!” Putri dengan sigap mengobati luka demi luka yang ada ditubuhku.

”Kakak tau kan?” gadis itu sepertinya memang menjaga jarak dariku. Mungkin ia alergi terhadap binatang.

”Tapi dia juga ciptaan Allah Ca. Masa kakak tega membiarkan dia seperti ini? Sekarang Caca fikir deh, seandainya Caca mendapati Kakak lagi kesakitan di jalan. Apa Caca tega meninggalkan kakak?”

”Kakak nggak sama dengan dia. Kakak manusia...”

”Lantas apa karena dia binatang? Caca harus tau, binatang itu juga memiliki hak untuk hidup dan sebagai sesama makhluk, kita juga memiliki kewajiban untuk saling menolong.”

”Iya... tapi Caca nggak mau gara-gara Kucing di rumah kita, lalu kita nggak bisa punya anak. Kak Putri tahu kenapa istrinya Mas Hamdan dicurretage?”

”Setahu kakak, karena kandungannya lemah.” Putri kini beranjak membersihkan tubuhku.

”Kakak salah. Yang benar itu, karena terjangkit virus yang dibawa sama Kucing!” seru Caca sambil menunjukku.

”Karena parasit Toxoplasma Gondi? Nama penyakitnya Toxoplasma.” Putri melirik Caca yang terus menatapku tajam. Seperti belati yang siap membelahku. Sebegitu bencikah ia?

”Setahu Kakak Toxoplasma merupakan penyakit yang menyerang hewan dan manusia, laki-laki ataupun perempuan. Memang, Toxoplasma juga menyerang Kucing.”

”Tuh, bener kan?!” Caca semakin memojokkan kehadiranku.

”Iya, tapi bukan Kucing penyebab utamanya. Sebenarnya Kucing hanya menjadi kambing hitam dalam masalah ini. Itu semua karena dalam tubuh Kucing Toxoplasma berkembang biak dengan 2 cara, dengan mikro dan makro gamet dan dengan membelah diri. Oleh karena itu, Toxoplasma menjadi berkembang pesat jika berada dalam tubuh Kucing. Efeknya memang ganas. Karena walaupun pada awalnya hanya menyerang kelenjar getah bening, Toxoplasma lama kelamaan dapat menyebabkan kemandulan.”

Aku benar-benar merasa terpojokkan. Jika tak memiliki manfaat, lalu mengapa aku diciptakan? Manusia memang beruntung karena tercipta paling sempurna. Hidup dalam kesatuan yang utuh dan kokoh, dapat saling menyayangi. Sedangkan binatang? Makhluk sepertiku memang memiliki keluarga sama seperti manusia, tapi jelas saja ada perbedaan yang sangat mencolok. Bahkan jika ditillik dari sisi manapun. Sekali lagi pertanyaan itu menyeruak. Mengapa manusia masih saja tak bisa bersyukur? Seandainya saja, tiba-tiba sang Pencipta mentakdirkan manusia menjadi binatang, mungkin manusia akan lebih memilih mati bunuh diri.

”Lalu, kenapa Kakak masih bertahan dan biarin dia ada di rumah kita?”

”Ca, masa depan itu rahasia Allah. Kita sebagai manusia hanya sebagai lakon. Berserah dirilah pada-Nya. Pasti akan ada jalan terbaik. Kakak hanya berusaha menjalankan perintah untuk menyayangi dan mengasihi sesama makhluk. Bukan sengaja mencari penyakit. Lagi pula Caca nggak lupa kan? Kucing ini binatang kesayangan Nabi lho. Buktinya Nabi punya banyak keturunan tuh. Iya kan?” Putri mencoba menyakinkan adiknya.

”Mungkin zamannya Nabi Muhammad belum ada Toxoplasma.”

”Ngarang kamu!! Udah lah... jangan bahas yang aneh-aneh gitu. Intinya kita menolong dengan niat karena Allah. Atau... Caca takut dicakar ya?”

”Bukaaaann... Caca Cuma nggak rela kalau jatah ikan Caca berkurang karena ada dia.”

Putri tersenyum.

Akupun melengking panjang. Sekedar untuk mengucapkan rasa terima kasih.

Meoooooooooooooong...

*********************

”Ibuuuu...!!” teriakan itu kembali mencipta kegaduhan. Tapi bedanya teriakan itu tidak ditujukan kepadaku.

”Kenapa sih Ca? Si Putih kan lagi sama Kakak.” Putri membawaku berlari mendatangi Caca yang berdiri mematung. Si Putih itu nama yang diberikan Putri untukku.

”Ituu...” desis Caca sambil menunjuk ke meja makan. Sempat ku tatap air matanya banjir tak terbendung lagi.

Meooong... meong... meong...

Suara itu tak berasal dari dari tenggorokanku. Tapi berasal dari 3 ekor kucing kecil yang asyik menyantap makanan yang terhidang di meja makan. Satu berbulu belang putih dan coklat sementara yang lain berbulu putih. Ternyata mereka adalah anak-anakku yang hilang. Akhirnya aku bertemu lagi dengan mereka.

Meoooooooooong...

Seruku untuk menyambut kedatangan mereka.

”Bu... rumah kita kok jadi rumah singgah untuk Kucing sih?” Caca memandangi anak-anakku nanar.

Senyum Putri mengembang.