Jumat, 08 Mei 2009

Langkah Awal

: bicara sastra


#1
Kalian belum pergi ke pasar. Di dapur hanya ada peralatan masak berkarat, sudah lama tak panas. Tapi lihatlah para tamu mulai berdatangan. Mereka berbasa-basi kata dengan kita, awalnya renyah. Sepersekian waktu nanti mereka akan kasak-kusuk saling berbisik, menunggu, bila waktu akan kita hidangkan jamuan semu.

Perhatikan saja ruang ini jadi penuh bunyi sedang rumah yang kita tempati belum jadi. Dengarkan bisikan mereka membicarakan rumah kita, membandingkan dengan rumah mereka yang sudah tentu jadi buku. Sementara itu beberapa yang lain juga sibuk bicara apa jamuan yang kita hidangkan nantinya.

Mereka mungkin tak sadar saat beberapa dari kita sibuk untuk pergi ke pasar membeli bahan lalu meraciknya sendiri dengan melihat panduan lama. Menghaluskan bumbu lalu mencampurnya jadi kesatuan yang terikat. Kemudian menghidupkan perapian, “Memasaknya seperti apa?,” Kita hanya saling berpandangan.

#2
“ah…lihatlah kembali panduan itu,” kata seorang diantara kita. Kita membacanya kembali. Mencoba membaca lebih teliti. Ternyata didalamnya hanya terbaca bahan-bahan dan bumbu saja. ”Lalu bagaimana cara membuatnya?.” Hampir bersamaan kita berkata seperti itu.

Para tamu mulai ricuh diluar sana menunggu jamuan yang tak kunjung datang. Sejak tadi mereka hadir untuk datang dalam perjamuan kali ini. Mengharapkan sesuatu yang baru dari orang baru. “Hal ini memang untuk terlalu awal untuk jadi, tapi ini harus dimulai saat ini.” Lalu mereka mulai bersuara tinggi yang menulikan.

Pelan-pelan kita mulai menyelesaikan hidangan dengan cara kita, memasaknya dengan panas minyak kelapa yang tersisa. Aromanya telah sampai walau dengan penciuman berbeda. Membuat lapar mengalahkan sabar, dari awal hingga matang. “Keinginan yang muncul untuk mencicipi lebih dulu dari tamu.”

#3
Ternyata rasa punya makna yang berbeda-beda. Mula-mula ia datang di ujung lidah, akhirnya kita tak paham rasa itu berasal dari campuran mana. Semuanya jadi satu dan matang, setelah dimasak. Tapi itu semua itu berkat proses yang tak akan jadi tanpa adanya kesatuan. Semuanya tak bisa berdiri sendiri, jika ingin menjadi.

Akhirnya kita kembali memburu waktu yang sudah hampir duduk karena kelelahan, ia duduk di pojokan sepi. Menyiapkan pinggan, menyajikan makanan yang telah menebarkan aroma dimana-mana walau belum mencapai ujung lidah para tetamu. Rasanya yang diharapkan disukai atau bisa menambah warna. Bisa dikata, “,inilah cita rasa khas Balikpapan tercinta.”

“Mari silahkan dimakan,” sambil tersenyum kita mempersilahkan. Diantaranya mereka mulai tersenyum, dibayangi oleh senyum kita yang masih malu-malu. Menunggu komentar mereka sembari melihat waktu, berharap ini bisa dilewati. Walau sebenarnya kita berharap cemas tentang bias ataupun tentang kerutan-kerutan muka bisu, kita tetap berharap “,untuk langkah awal hari, mungkin hidangan ini bukan untuk kalangan sendiri..”


Lovie Gustian
Balikpapan 24 April 2009
17:00 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar