Jumat, 08 Mei 2009

Buah Hati

Kusandarkan tubuhku pada sebuah pohon pinus yang memang banyak tumbuh di pinggir pantai ini. Angin laut yang begitu lembut berkali-kali menyibak rambutku yang panjang tergerai. Mataku tak hentinya mengamati jengkal demi jengkal butiran pasir pantai dan deburan ombak yang bersahutan. Aku sering mengunjungi pantai ini. Pun sendiri. Tanpa teman dan siapapun yang menemaniku. Ini memang sudah menjadi rutinitasku untuk melepas penat yang selalu terasa ingin membunuhku. Bukan hanya karena pantai ini menyimpan sejuta keindahan dan romantika. Tapi juga karena pantai ini jarang dikunjungi. Sehingga membuat aku lebih leluasa untuk bisa bermanja-manja dengan berbagai pesonanya. Aku beranjak meniti pasir pantai yang putih dan lembut. Aku dapat merasakan kehangatannya pada tiap pijakanku. Matahari yang semakin meninggi tak menyurutkan langkahku untuk bisa tetap bercengkrama dengan semua yang ada dipantai ini. Sesekali deburan ombak yang berkejaran itu membasahi pakaian yang kukenakan. Baju berwarna ungu muda model baby doll selutut yang terlihat semakin acak-acakan. Dan aku sama sekali tak berfikiran untuk merapikannya.

Sinar matahari yang semakin meninggi, terasa menyengat dikulitku yang kering tak terurus. Entah kapan terakhir kali aku menikmati massage, spa dan segala perawatan kecantikan yang rutin aku jalani di salon langgananku. Kuku tangan dan kaki yang biasanya terawat indah, kini mulai tumbuh tak beraturan. Rambutku yang biasanya harum, lurus dan tergerai indah, kini benar-benar terlihat acak-acakan. Kurebahkan tubuhku pada sebuah pondok yang menjorok kelaut. Berada di antara batu-batu besar membuatnya begitu mempesona.

Dan di pondok inilah awal aku mengenalnya. Seorang nelayan yang kebetulan singgah dan melepas penatnya dipantai ini. Mataku menerawang jauh.

Saat itu hujan tengah mengguyur dengan lebatnya. Perahu yang ia kemudikan seorang diri diikatkan disalah satu pohon yang berada di bibir pantai. Lalu iapun berlari ke pondok ini. Pondok dimana akupun tengah berteduh didalamnya.
“Permisi mbak. Saya boleh ikut berteduh?” tanyanya sopan.
Aku mengangguk malas. Meras tak ingin diganggu, karena aku tengah antusias menikmati hujan yang semakin melengkapi panorama pantai ini.
“Mbak sudah lama berteduh disini?” tanyanya lagi sambil membersihkan bajunya yang sedikit kotor.
Akupun hanya mengangguk acuh.
Sepertinya nelayan ini mulai malas mengajakku bicara. Mungkin dia tau kalau aku sedang tak ingin diganggu. Sementara hujan semakin deras saja. Aku mulai jengah. Aku harus segera pulang sebelum matahari tenggelam.
“Kalau senja disini pasti indah sekali. Matahari biasanya tenggelam disana” ungkapnya sambil menunjuk kearah kanannya. “Lebih indah lagi kalau kita lihat diatas batu besar yang ada diatas sana” sambungnya lagi.
Tanpa sadar aku ikut menoleh dan melihat ketempat yang ia tunjukkan. Batu besar yang indah. Kenapa aku baru tau?.
“Mas sering kesini juga?” tanyaku. Akhirnya aku menyerah. Aku tak mungkin lama-lama membisu dengan nelayan ini. Tak ingin dia menganggapku benar-benar bisu.
Dia mengangguk.
“Nama saya Rama. Nama mbak?” tanyanya sambil menjulurkan tangan kanannya yang basah oleh air hujan. Menyadari hal itu, ia segera mengeringkan tangannya pada baju yang ia kenakan.
Aku tersenyum.
“Nila” jawabku singkat. Sambil membalas jabatan tangannya.
Aku duduk mendekat disampingnya sambil menawarinya permen mint yang selalu kusediakan ditas tanganku. Berbagai ceritapun mengalir dari Rama. Ternyata dia juga sama sepertiku. Menyukai pantai ini dan merasa memilikinya. Akupun tak mau kalah menceritakan kekagumanku pada pantai ini. Juga kesibukan dan kepenatan yang menghantarkanku kesini. Sesekali kami tertawa renyah. Seperti dua sahabat yang lama tak bersua. Tapi hujan mulai berhenti. Kamipun berpisah dan kembali dengan rutinitas masing-masing.

Aku terpaku. Menatap batu yang Rama tunjukkan padaku diawal pertemuan kami itu.
Di tempat itulah kami mengikat janji. Saat matahari hampir tenggelam, setelah setahun aku mengenalnya. Tentu saja aku dan Rama sangat bahagia. Apalagi kedua pihak keluarga kamipun merestui.

Sejak hari itu, aku dan Rama semakin tak terpisahkan. Terkadang Rama yang menemaniku menjalani aktifitasku sebagai seorang reporter. Dan tak jarang pula aku menemani Rama melaut. Hari-hari yang penuh dengan kebahagiaan. Tapi semua itu tak berjalan lama. Ternyata keluargaku tak benar-benar bisa menerima Rama dan profesinya. Menurut mereka menjadi seorang nelayan adalah suatu hal yang tabu. Tentu saja karena latar belakang keluargaku yang notabene adalah keluarga terpelajar. Sering kali aku harus menelan ludah atas cemoohan mereka. Seorang reporter surat kabar terkemuka bersuamikan seorang nelayan. Apakah salah? nelayan juga sebuah profesi yang mengagumkan. Penuh tantangan, perjuangan dan resiko. Lebih mengagumkan ketimbang menjadi perampok atau pencuri. Toh Rama telah berusaha bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Walau memang penghasilanku perbulan lebih besar daripada penghasilan Rama. Tapi itu tak menjadi persoalan. Lagipula, Rama selalu berusaha memenuhi semua kebutuhanku dengan pekerjaanya sebagai seorang nelayan.

Kebahagiaan kami hampir sempurna dengan kehadiran sesosok malaikat berwujud janin dirahimku. Ya, dirahimku. Aku akan menjadi seorang ibu. Memang baru empat minggu kehamilan. Tapi aku sudah tak sabar ingin menggendongnya. Sejak itu pula Rama semakin perhatian dan giat bekerja untuk tabungan kelahiran malaikat kecil kami. Tapi bukan berarti hubunganku, Rama dan keluargaku membaik. Justru mereka semakin gencar mencemoohku. Dan memaksaku membujuk Rama mencari pekerjaan lain. Padahal mereka tau bahwa Rama bekerja sebagai nelayan untuk meneruskan keahlian yang diturunkan turun temurun di keluarganya.

Tapi permasalahan itu tak menggoyahkanku. Sebisa mungkin aku membuat diriku tak hanyut dalam permasalahan yang ada. Aku lebih memilih mengikuti saran dokter agar selalu rileks demi menjaga kandunganku yang baru seumur jagung. Aku begitu menikmati saat-saat awal kehamilanku. Ramapun begitu memantau kehamilanku setiap saat. Rama juga memintaku berhenti bekerja agar bisa total menjaga kehamilan buah cintaku dan Rama. Sekali waktu aku mengantar kepergian Rama melaut, menunggunya, membawakannya bekal dan makan siang bersama dipondok ini. Saat-saat yang paling mendebarkan adalah ketika kehamilanku berumur dua puluh minggu. Kala itu aku memeriksakan kandunganku ke dokter. Aku dan Rama mulai dapat mendengar detak jantung dan gerakan-gerakan kecil dirahimku. Apalagi hasil Ultrasonografi membuktikan bahwa aku mengandung bayi laki-laki.Betapa bahagianya kami.

Perutkupun mulai membesar seiring bertambahnya usia kehamilanku. Aku mulai merasakan gerakan-gerakan yang semakin aktif dari rahimku. Seakan menyadarkanku bahwa kehadirannya benar-benar nyata. Ia menyapaku dengan tendangan-tendngan kecilnya didinding rahimku. Rama juga sering mengajaknya bercanda. menggodanya dan menghujaninya dengan kata-kata mesra. Ramapun cuti melaut saat usia kehamilanku menginjak bulan ke delapan. Rama begitu total menjagaku dan malaikat kecil didalam kandunganku. Ia tak lagi memperbolehkanku menyentuh pekerjaan rumah yang biasa aku kerjakan. Semua berganti dikerjakan olehnya. Terkadang aku tak sanggup membendung air mataku melihat ketulusan, kegigihan, dan pengorbanannya untuk keluarga kecil kami. Kebahagiaanku hampir lengkap. Andai saja keluargaku melihat semua ini. Mereka pasti akan belajar untuk lebih menghargai Rama.

Sembilan bulan penantian ini akan segera berujung pada kebahagiaan. Kata dokter, dalam beberapa hari ini aku akan segera melahirkan. Karenanya, aku harus lebih menjaga kesehatan. Ramapun lebih rajin membawaku kepantai ini agar aku bisa menghirup udara segar. Tapi yang berbeda, kami ke pantai ini dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak rumah yang kami tinggali tidak terlalu jauh dengan pantai ini. Kata orang tua, jalan kaki menjelang kelahiran itu mempermudah proses kelahiran. Dan kami juga duduk disini, di pondok ini. Menanti senja.

Harinya tiba. Sakit semakin sering kurasakan. Seperti ada benda keras yang meronta ingin keluar. Sakit yang rasanya tak bisa kujelaskan. Mungkin malaikat kecilku sudah tak sabar ingin menghirup udara yang berbeda. Rama dengan tenang menemaniku. Menenangkan dan menyemangatiku bahwa sebentar lagi aku benar-benar akan menjadi seorang ibu. Ia juga seperti ikut terhanyut dalam sakit yang kurasakan. Peluh membanjiri tubuhnya yang tegap. Ramapun membawaku ke Rumah bersalin terdekat agar aku segera mendapat pertolongan. Tak sedetikpun ia melepaskan tanganku dalam genggamannya. Mungkin ia sadar bahwa aku takkan bisa menjalani ini semua sendiri. Detik-detik menjelang kelahiranku, keajaiban itu muncul. Keluargaku dan keluarga Rama berkumpul untuk menyemangatiku. Beberapa detik lagi lengkaplah sudah kebahagiaanku.

Saat persalinan yang menegangkan. Rama tak hentinya menyemangatiku. Rama diperbolehkan mendampingiku pada proses persalinan. Tuhan, seperti inikah pengorbanan seorang ibu? setelah sembilan bulan menjaga benih di kandungan, kini pun harus berjuang bertaruh maut.
“Sayang, kamu harus kuat. Lihat, bayi kita sebentar lagi lahir” mata Rama berkaca-kaca.
Huff… Aku lelah.. Kekuatan dan semangatku terkuras tak bersisa.
1 jam telah berlalu semenjak pecah ketuban, bayiku tak kunjung lahir. Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga. Pihak rumah bersalin kini mulai panik. Berbagai macam alat dipasangkan ditubuhku yang semakin melemah. Aku bersikeras untuk bersalin secara normal. Tapi pihak rumah sakit memintaku untuk bersalin dengan jalan operasi. Mereka takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kata mereka, lingkar pinggul yang sempit sangat menyulitkan proses kelahiran secara normal. Dan entah karena masalah apalagi, rahimkupun harus diangkat. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku menyerah. Apapun akan aku lakukan untuk malaikat kecilku. Aku rela meregang nyawa demi melihat senyumnya. Juga senyum semua orang yang akan tersenyum padanya.

Kuseka air mata yang mulai melinangi pipiku. Tak sanggup mengingat semuanya. Kututup wajahku dengan kedua tanganku yang telah basah dengan airmata. Sepertinya aku sudah benar-benar gila.

“Sayang, sudah sadar?” Rama mengelus rambutku, penuh kasih sayang.
“Anak kita mana? sudah lahir?” tanyaku lemah.
Rama mengangguk. Senyumnya mengembang.
“Aku boleh gendong dia?” pintaku lembut.
Rama menggeleng.“Belum waktunya. Kamu masih lemah. Kamu harus sehat dulu!” Rama menghiburku.

Tapi Rama bohong. Aku takkan pernah bisa menggendong bayiku. Menggendong malaikat kecil yang aku kandung selama sembilan bulan dengan mempertaruhkan nyawaku. Aku tak bisa memeluknya, merengkuhnya dan melihat senyumnya. Tuhan telah mengambilnya. Mengambilnya dariku dan Rama. Aku tau Tuhan punya rahasia untuk hidupku. Tapi apa ini adil? Aku benar-benar tidak bisa menerima kenyataan ini.

Dan sejak kepergian malaikat kecil yang tak sempat ku peluk itu, hubunganku dan Rama merenggang. Aku lebih emosional. Apapun yang terjadi selalu aku sangkut pautkan dengan kematian bayiku. Semua hal yang terjadi selalu bisa memancing emosiku. Terkadang aku kasihan pada Rama. Ia jadi pemurung. Hingga suatu hari aku bertengkar hebat dengan Rama. Pertengkaran yang selalu menghantuiku hingga detik ini.
“La, bayi kita itu disayang sama tuhan. Makanya dia diambil terlebih dahulu. Sebelum dia sempat berbuat dosa!” nada bicara Rama mulai meninggi.
“Tapi kenapa harus kita? Kenapa harus bayi kita?!” teriakku.
“Nila! itu kuasa Tuhan! kamu nggak boleh bicara seperti itu. itu sudah kuasa-Nya! Kita harus ikhlas La!”.
“Aku nggak bisa ikhlas Ram. Aku belum sempat menggendongnya! Aku belum sempat melihat wajahnya, senyumnya, bentuknya seperti apa aku juga nggak tau! Aku ini ibunya Ram. Aku mengandungnya selama sembilan bulan. Kenapa kamu dan orang-orang itu tidak memiliki hati untuk memberi tahuku lebih awal? sebelum bayi kita dimakamkan?!” teriakku. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Kami nggak bermaksud seperti itu. Kondisi kamu saat itu melemah. Jadi kami pikir kamu tidak perlu tau dulu!” Rama menjelaskan.
“Dengan santainya kamu bilang aku nggak perlu tau dulu? Hei, Aku ini ibunya Ram! AKU IBUNYA!!” emosiku memuncak..”Dia nyawaku Ram!! Kamu tau betapa bangganya aku saat tau bayi dirahimku adalah bayi laki-laki. Seorang jagoan yang akan menjadi pendampingmu untuk melindungiku. Dia akan menjadi satu-satunya hal yang membuatku bangga menjadi seorang ibu. Kamu nggak lupa kan Ram? Rahimku sudah diangkat. Nggak ada lagi yang bisa kubanggakan sebagai seorang wanita dan istri. Lebih baik aku mati Ram!!”.
“Semuanya sudah terjadi La. Kita tak bisa mengulangnya kembali” Rama pasrah.
“Tapi sakit ini akan membekas sampai kapanpun!!” teriakku histeris.
Rama terdiam.

Tanpa sadar, ku ambil sebilah pisau dari dapur. Aku berniat menyudahi catatan sejarah kehidupanku. Desir nafasku semakin memburu. Tanpa berfikir panjang, kuarahkan pisau itu tepat di perutku. Kupejamkan mataku mencoba menghirup udara terakhirku. Perlahan tapi pasti ku tancapkan pisau itu. Beberapa detik kemudian, kucium aroma kematian di ujung pisau yang masih kugenggam. Kubuka mataku perlahan dan menyaksikan tubuh belahan jiwaku tergeletak diatas badanku. Darah segar meluber membasahi tanganku. Aku pikir sesuatu yang menindihku tadi adalah malaikat pencabut nyawa. Tapi ternyata, Rama…!!

“Orang gila… orang gila!!” teriak sekelompok anak yang tengah bermain air dihadapanku, menyadarkanku dari lamunan panjang. Ternyata hari mulai gelap.
“Orang gila… orang gila…!!” mereka terus berteriak.
Tiba – tiba aku sangat rindu pada Rama. Jika disini ada Rama, pasti dia akan melindungiku.
“Rama… maafin aku. Maafin aku Rama. Kenapa kamu melakukannya?!!” teriakku. Tangisku pecah.
“Orang gila… orang gila…!!” teriak anak-anak itu semakin keras. Mereka mulai menariki bajuku. Anak-anak itu juga mulai nakal. Mereka melempariku dengan batu. Aku hanya menghindar sekenanya.
“Ramaaaaaa!!!” teriakku. Aku terus berteriak histeris. Berharap sosok itu datang.
Tiba-tiba aku merasakan ada sebuah sentuhan dari seseorang yang sangat aku kenal.
“Sayang, ayo pulang. Sudah mau malam. Kasian tuh jagoan kita, udah ngantuk” suara itu begitu nyata ditelingaku.
“Rama…!!” kataku sambil menyeka air mata. “Iya nih dedenya mau bobo. Eh nggak. Mandi dulu biar harum. Abis itu baru main sama ayah. Liat sayang. Ayah jemput kita” senyumku mengembang.
“Wuih, orang gilanya ngomong sama siapa?!” kata salah seorang anak itu.
“Dasar orang gila” seru yang lain.
“Orang gila..!!! Orang gila!!!” suara mereka membahana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar