Jumat, 08 Mei 2009

Yang Tidak Akan Pernah Tuntas

aku masih tidak ingin bangun dihadapanmu dengan kotoran mata dan mulut yang belum sikat gigi. Rasanya dia terlalu cantik untuk mendapat 'sarapan' itu. Walapun keringat mulai keluar dari pori-pori leher dan dada, aku masih bertahan sampai dia pergi meninggalkan sarapan diatas tempat tidurku. Dari balik sarung masih samar kulihat dia mengambil rokok dan korek yang kutaruh disamping tas ranselku. Setelah setengah berteriak bilang bangun untuk ke sekian kalinya, dia pergi ke arah matahari yang mulai menyegat kakiku yang terlentang diatas pasir.
sarung kulepas dan kulihat di atas matras piring yang ditutup daun serta mug dengan kertas dibagian atasnya. perlahan kubuka, piring plastik itu ternyata pisang goreng. mug bergambar tokoh kartun favoritnya juga penuh dengan busa cappucino. Sepertinya aku akan menikmati sarapan itu dengan gaya yang sedikit elegan. Aku berlari ke arah suara ombak sambil membawa peralatan mandi. Seperti hari-hari sebelumnya, berenang menjadi satu-satunya cara untuk membersihkan badan karena pulau itu tidak menyediakan air tawar. Air tawar yang diangkut dari daratan utama hanya digunakan untuk keperluan memasak dan minum. Aku sudah siap untuk sarapan dengan kemeja dan jeans membayangkan sedang berada di salah satu cafe. Untuk pertama kali setelah dua hari ada yang membawakan sarapan. Sambil memandang ke arah hamparan air yang tak berujung, satu persatu pisang goreng kulahap sampai tak tersisa sedikitpun gorengan tepung pisang. Aku memang lapar karena mataku baru bisa terpejam dini hari. Cappucino itu sudah kuhirup seperempat gelas. Aku teringat pada nikmatnya hisapan asap sambil menyeruput cappucino. Paling tidak aku bisa menghabiskan 3 batang untuk sisa cappucino itu. Mataku tertuju ke tempat rokok dan korek yang kusimpan di dekat ransel. Aku teringat, seseorang yang membawakanku sarapan mengambilnya diam-diam. Aku tahu sejak menginjakkan kaki di pulau, dia kerap menyinggungku soal rokok namun tidak langsung memintaku untuk berhenti. Pantas saja tadi malam, alasannya seribu satu macam saat kuajak untuk menunggu bintang jatuh di dermaga kayu yang reot bersama teman-teman yang lain. Tapi dia sangat manis hari ini. Aku tidak akan meminta kembali rokok yang disembunyikan. Meskipun masih memiliki 3 bungkus lagi, aku tidak akan menghisapnya sampai dia mengaku telah menyembunyikan rokokku untuk sebuah alasan. Lebih baik berpura-pura kehilangan rokok. Kira-kira apa yang akan kukatakan nanti jika bertemu dia? kalau bilang terima kasih atas sarapannya, dia bakal tahu sebenarnya aku sudah bangun. Jangan sampai dia menganggap aku tidak ingin melihat senyum dan mata lentiknya. Barangkali hari ini akan panjang tanpa asap sambil menunggu besok pagi. Kali aja dia masih membawakanku sarapan.

# Basir Daud

Tekdung Lalala..

Tik tok tik tik tok tik. Kotak musik Risa berhenti berputar setelah 32 detik. Pelan, patung penari balet kecil itu juga berhenti menari. Kepala patung itu berhenti di depan muka Risa, yang sedang berbaring malas di kamarnya.
Plok! Ditutupnya kotak musik itu.
Risa mendirikan badannya. Ia menatap ke atas, banyak gantungan burung-burung kertas yang seolah terbang di langit kamarnya itu. Malam itu begitu penat baginya. Ia merasa tak biasa di malam itu. Semilir angin menembus dari kolong udara jendala kamarnya.
Tak lama, ditundukkannya kepalanya tadi yang menengadah.
(Satu. Dua. Tiga.)
Tubuh Risa terduduk, kakinya melipat, kepalanya tertunduk lebih dalam. Rambutnya menutupi kepala.
Ketenangan kamar 4 x 6 meter persegi itu pecah oleh tangis Risa. Beberapa kali gadis kelas II SMA itu memukulkan tangannya ke lantai dan lemari. Tak sanggup ia menahan sedih dan kecewanya, ia membanting figura foto di samping tempat tidurnya ke lantai. Diambilnya sebuah silet dan mulai menyayat lengan kirinya.
Jam dinding di kamar Risa menunjukkan 02.12. Dua puluh tiga menit berlalu setelah ia melakukan sayatan pertama ke tangan kirinya. Kamar itu tiba-tiba hening kembali.
Di tangan kirinya yang berdarah dipegangnya test pack yang bergaris dua berwarna merah.


: Thomas Luvas

Bara di tanah Berapi

oleh : Sadhana

Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagi Gilang. Sekali lagi ibunya yang doyan ngeluyur itu membawanya ke warung yang tak jauh dari rumah mereka. Hari masih dingin tetapi suasana hangat telah ramai bertebaran dari senyum-senyum orang yang mereka temui di jalan. Di desa seperti itu memang mudah ditemui kehangatan, orang-orang kampung memang tak segan tersenyum walau dengan orang yang tak pernah mereka lihat sekalipun. Semua keceriaan pagi itu terpancar dari lesung pipi Gilang yang kala itu masih berusia 6 tahun. Dengan kakinya yang tak bisa diam Gilang barlari-lari di jalan yang jarang ada kendaraan itu. Digenggamnya uang lima ratus rupiah yang tak lain dan tak bukan adalah suatu kewajiban bagi ibunya untuk diberikan pada Gilang setiap hari Minggu.

Gilang tak sabar, sesampainya di warung dia langsung ucul meninggalkan ibunya yang mulai sibuk memilih sabun sambil mulai mencari bahan pembicaraan. Secepat kilat Gilang berlari ke warung seberang jalan, 20 meter dari warung tempat ibunya mulai bergosip bersama ibu-ibu lain yang juga sedang mencari bahan keperluan rumah tangga. Dari luar warung seberang itu Gilang berteriak-teriak memanggil seseorang. “Ginaa..Ginaaaa.......Gilang udah datang” ucap Gilang semangat. Teringat satu minggu yang lalu di hari yang sama Gilang berjanji akan menemani Gina bermain masak-masakan. “Selamat pagi Gilang, Gina masih mandi.....” terlihat ibu Gina keluar rumah sambil membawa kunci warungnya yang memang belum buka itu. “Duduk aja di situ..” kata ibu Gina lembut sambil menunjuk kursi kayu yang masih rapi tersusun di atas tanah yang masih basah. Rumah Gina yang terletak tepat di samping warung berukuran 4x6 meter yang terbuat dari batang bambu yang sudah tua. Ayahnya yang telah meninggal karena sakit tak sempat memperbaiki warung yang sekarang menjadi tumpuan hidup mereka. Sementara kakaknya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD tak dapat berbuat banyak untuk keluarga mereka.

Tersentak oleh suara angsa-angsa kecil di depannya Gilang pun buyar dalam lamunan tentang Gina. Tersenyum malu pada dirinya sendiri dia mulai sadar bahwa dia baru saja berkhayal, senyum-senyum kembang bermekaran dari lesung manis Gilang, tak seorangpun mengetahuinya. Dari pintu rumah yang juga terbuat dari bambu seorang gadis kecil yang telah lama ditunggu muncul juga. Gina, gadis kecil lugu pujaan hati Gilang yang juga masih berumur 6 tahun itu kemudian keluar rumah dengan cantiknya. Berpakaian rapi dengan pita biru di kepala, tersenyum manis dengan lesung di kedua sisi pipinya. “Waah, indaaahnya........” Gilang berbisik pada hatinya sendiri. Sejuta aster putih keluar dari senyumnya menyambut Gina yang baru keluar dari rumahnya setelah mandi dan berpakaian rapi sekali. “Gilang..........” sapa Gina lembut. “Kamu belum mandi ya?” Gina tersenyum melihat Gilang yang masih menggunakan cawat dengan corak garis-garis. Bau pesing bercampur sejuk angin berdesir melewati hidung mereka berdua. “Iyah............” sahut Gilang menganggukkan kapala sambil tersenyum malu. Wajahnya yang ceria itu tiba-tiba menjadi merah padam. Ada sesuatu yang membuatnya terbakar dalam senyum, rasa malu dan bahagia ketika melihat Gina membuatnya celingukan tak karuan. Pagi telah disambut senyum dua anak polos yang masih ingusan, hari dimulai.
.............................................................

Mataharipun tak lagi ragu menampakkan sinarnya, Gilang dan Gina pun asyik bermain di lapangan sebelah warung dengan penuh ceria. Ibu Gilang yang tak suka mengekang membuat Gilang bebas bermain dengan siapa saja termasuk Gina. Bagi ibu Gilang, masa kecil adalah masa di mana Gilang dapat bebas bermain sebelum Gilang menjadi dewasa dan mulai mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Sementara di sisi Gilang, yang ada di pikirannya hanyalah keceriaan bersama Gina yang manis, tak di hitung berapa banyak uang lima ratus yang hilang akibat berkejaran bersama Gina. Menyentuhnya , menggandeng tangannya, dan membersihkan luka di kakinya adalah sesuatu yang indah bagi Gilang. Rasa sayang yang kecil, tulus mengalir begitu saja selama bertahun tahun sampai mereka beranjak remaja.

Delapan tahun telah berlalu, Gilang yang dahulu polos dan penuh ceria kini telah menjadi remaja yang tampan dan tak banyak bicara. Tubuhnya yang tegap serta parasnya yang tampan membuat tak satupun gadis dapat berpaling dari pesonanya. Begitu pula dengn Gina, gadis kecil berpita biru yang dari dulu selalu bersamanya kini telah menjadi gadis remaja. Kata-kata santun yang biasa keluar dari lembut bibirnya membuat setiap orang semakin tergoda untuk memilikinya. Tak sedikit pria dan anak-anak remaja mencari tahu siapa pacar Gina. Dan kini, orang-orang itu, telah sepakat untuk menyebut Gina, remaja.

Pagi yang sama seperti delapan tahun yang lalu, sejuta aster putih masih terus saja mengalir setiap Gilang memandang Gina yang penuh pesona. Yaa, setiap pagi di hari Minggu, Gilang memang selalu datang untuk menjemput Gina dengan sepeda ontel peninggalan ayahnya. Sama seperti Gina, ayah Gilang juga telah tiada karna sakit yang menggerogoti tubuhnya. “Hai Ginn,.........udah siap?” tanya Gilang sesaat setelah kayuhnya berhenti di depan warung yang sekarang telah apik tampilannya. “Udah,..........cepet banget jemputnya” sahut Gina yang sebenarnya tahu bahwa Gilang tak pernah terlambat. Pagi itu seperti biasa mereka akan pergi ke lapangan tempat orang-orang biasa berolah-raga.
Udara yang masih dingin tak mengerutkan semangat Gilang untuk terus mengayuh sepeda. Sementara di belakang, Gina yang telah lama merasakan kasih sayang dari seorang Gilang tak lagi ragu untuk mendekap tubuh Gilang yang selalu hangat karna terus mengayuh. “Ginn,........kamu cantik ya” ucap Gilang terbata, memecah dingin yang tak henti mendera tubuhnya. Gina yang mendengar Gilang, tersenyum dari belakang. Kali ini juataan aster yang biasa mengalir untuk Gina menjadi mawar-mawar merah yang terbang hinggap pada tubuh Gilang yang dicintainya. Cubitan kecil yang Gina buat membuat Gilang gemetar menahan geli di perutnya. “Aauw, Ginn.....geli tauk!” seru Gilang memendam suka. Cubitan kecil itu telah menjadi tanda kalau Gina merasakan hal yang sama. Dalam hati Gilang terus berkata, malaikat mana yang akan tahan dicubit gadis kembang desa yang kini telah ranum raganya. Hangat tubuh Gina yang meresap melalui punggungnya semakin terasa lembutnya. Pikirannya terus melayang, mengikuti nalurinya sebagai jejaka yang kini telah beranjak dewasa. Sementara di belakang, Gina masih saja terhanyut akan kehangatan Gilang yang terasa tak pernah ada habisnya. Hari semakin terasa indah bagi Gilang dan Gina sampai suatu saat peristiwa itu terjadi.
...............................................................

Bruaak, Gilang dan Gina terjatuh dari sepeda. Barisan paku yang sengaja ditanam di tanah meletuskan ban sepeda mereka. Pagi masih sedikit buta saat Gilang mencoba membopong Gina yang terluka, kakinya yang halus itu kini mengeluarkan darah karena tergores gir sepeda. Dari kejauhan tampak 6 orang datang dari arah yang berbeda. Buuk, tiba-tiba Gilang merasakan pening di kepalanya, bintang-bintang berlarian ketakutan dalam hitam yang kini ada di pandangannya. “Gina..........” ucap Gilang mengawatirkan Gina sesaat sebelum bau tanah basah menyentuh hidungnya. Gelap, pekat, Gilang pingsan.
“Lang,.....Gilang....” suara Gina merintih di bawah kaki Gilang. Pakaiannya kotor, darah kering terpecah-pecah di kaki mulusnya. Gilang tersadar sejenak, pening yang masih berpendar di kepalanya sejenak terhapus saat mendengar Gina masih bersamanya. “Ginn...........” sahut Gilang saat merasakan Gina menangis memeluk erat kakinya. Suara Gina yang tak terbendung mengundang 6 orang yang berbincang di luar masuk dengan kasar.

“Heeh,.... sudah bangun kamu?” terdengar suara seseorang yang dibarengi dengan guyuran air dari atas kepalanya. Orang-orang yang tak pernah terlihat di kampung itu ternyata adalah tukang-tukang dari kota yang telah seminggu menyelesaikan borongan di kampungnya. Gina yang ketakutan langsung memeluk Gilang semakin erat, airmata yang mengalir deras membuat orang-orang itu semakin gemas ingin mengerjainya. Salah satu dari mereka menarik Gina yang telah tersobek, kain di bagian lengannya. Sarjo, lelaki hitam legam menarik Gina dari kaki Gilang yang hanya dapat membelalakkan mata. Dua orang di luar yang kemudian diketahui bernama Sudar dan Parta siaga menjaga ruangan yang ternyata adalah warung ibu Gina sendiri. Gilang teperanjat, “Bangsaaat kalian, tolooong.........” kata-kata yang tak pernah terucap itu tiba-tiba keluar dari mulutnya, melihat tiga orang lagi bernama Samin, Darmo dan Gara sibuk menutupi celah-celah warung, sedang jendelanya telah tertutup sangat rapat. “Anjing, berani kamu teriak begitu sama aku” plaak, Gara menampar wajah Gilang dengan kerasnya. Samin dan Darmo yang masih sibuk menutupi celah warung ikut panas, dipukulnya Gilang yang sudah tak kuat berdiri itu dengan bambu peniup tunggku hingga biru. Gilang yang tak kuat menahan sakit hanya bisa tertunduk tergantung di tiang yang biasa dijadikan tempat menggantung kerupuk itu.

Gina pingsan, tak tahan menahan bau lelaki hitam yang sedari tadi mendekap erat tubuh mungilnya itu. Satu, dua, tiga, satu bambu dan tiga celurit telah di siapkan untuk menghabisi Gina dan Galih jika berani berteriak. Siang itu, menjadi awal yang baru bagi cerita cinta Gilang dan Gina. Kakak Gina yang baru masuk rumah sakit karna terjatuh di sungai mendesak ibu Gina dan ibu Galih untuk segera ke kota. Sementara orang-orang kampung yang biasa hilir-mudik di depan warung sedang sibuk beramai-ramai ke lapangan untuk menonton pertunjukan Kuda Lumping.

Kampung sepi, sangat sepi, ibu Gina tak pulang, ibu Galih juga, satpam berjaga, di tengah kerumunan, jauh, jauh dari warung tempat Galih dan Gina terdiam, menangis, meronta dalam jiwa.

Byuuur, “Bangun njing,...!!” terasa segar dan perih air yang tiba-tiba membangunkan Gilang dari pingsan. Terlihat di depan Gilang sedang berdiri Sarjo, Samin, Darmo, dan Gara yang sedang memegang celurit dan timba. Menatapnya lekat dan menamparnya sesekali. “Bangun cepat.....” kata Darmo tak sabar ingin menuntaskan segalanya. “Ya Allaaaah……..” bergetar Gilang dalam jiwa yang runtuh, melihat Gina telah terbaring di atas meja-meja yang telah disatukan. Tubuhnya yang mungil serentak mengangkat birahi anjing-anjing hitam kampungan. Gilang yang telah diikat kaki, tangan dan tubuhnya dengan tampar sekuat senar, tak mampu lagi menahan runtuhnya kekuatan yang dia punya ketika melihat Gina, gadis lugu yang dicintai dilucuti bajunya. Pakaiannya tak lagi mampu menahan rona merah tubuhnya yang baru matang itu. Tak ada lagi selain tangis yang bisa keluar dari mulut Gilang saat Gina mulai sadar dari pingsannya.

“Gilaaaaang...... Gina takuuuuuut.” dengan tangis terisak Gina berteriak lirih saat Sarjo mulai melepas kain terakhir yang membungkus tubuhnya. “Gilaaaaaaaaaaaang” teriak Gina menyayat kulit-kulit Gilang yang yang terdalam. Plaak “Diam kamu....mau mati ya?” Sarjo menampar pipi yang sama-sekali belum pernah tersentuh kelembutannya oleh Gilang sendiri. Tubuh lembut dan ayu yang seharusnya menjadi milik Gilang itu kini mengejang menahan perih yang tak pernah diijinkan. Gina menjerit, menahan perih yang sengaja menindih. “Sakiiiiiit......” Gina memejamkan mata, menahan perih sambil mendongak pada-Nya. “Tuhaan........” rintihnya dalam hati.

Gilang terdiam, beku air matanya menyaksikan surga di rampas setan bergantian sedang pemiliknya terluka kesakitan. Terdengar Gina merintih saat tubuhnya mulai mengalirkan darah segar. Bukk, “Sudah cukup buat kamu” terdengar suara yang lain membentak sebelum akhirnya Gilang kembali pingsan. Pusing yang berulang-ulang membuat bintang-bintang mampu berkejaran lebih lama dari biasanya. “Gilaang.........” terdengar suara Gina semakin pelan memanggil jauh dari kegelapan mata Gilang. “Sakiiiiiit........” suara Gina mengakhiri tarian bintang, yang tinggal hanya kegelapan, tanpa suara.
...........................................................

Udara pagi yang dingin kembali datang, kali ini membangunkan Gilang dari tidur panjang setelah dihantam pukulan. Lapaar, ucapnya dalam hati. Tak sengaja Gilang mengelap darah yang kering dari bibir yang lebam, menyadari bahwa dia tak lagi terikat. Gina menghilang, 6 orang yang kemarin bersamanya juga tak tahu entah kemana. Dari luar, Gilang mendengar di depan warung ibu-ibu sedang ketakutan dan langsung pergi setelah membicarakan tentang gadis yang tergeletak telanjang di tengah hutan, darah yang keluar dari selangkangan dan mulut, biru di payudaranya membuat orang percaya bahwa ia tak lagi terselamatkan. “Ggg....ginaaaa........” Gilang menyebut nama Gina dalam tetes pertama air matanya pagi itu. “Ginnaaaaaaaa............” tersungkur di tanah basah Gilang menghadap ke atas, mencari Tuhan di antara rangka-rangka atap warung yang bisu. Dingin pagi tak lagi hangat karna pelukan Gina, tanah basah tak akan kering karna air mata. Gina, gadis kecil berpita biru dengan lesung di kedua pipinya kini tak lagi ada baginya.

Di tengah kebisuan yang menelan warung yang pengap dan rasa lapar yang tak terungkap. Terdengar di pojok belakang warung, “Praak...” sebuah botol pecah di sudut. Asap tercium di sudut ruangan, api yang dilempar dari botol minuman berisi minyak mulai membakar warung yang terbuat dari papan itu. “Bejaaat........ bangsaaaaaaaat....” jerit Gilang dalam hatinya yang merah membara. Di antara rasa marah dan putus asanya Gilang meronta. Lemas, tak ingin lagi membuka pintu yang tak terkunci sama sekali. Keinginannya untuk selalu bersama Gina membuatnya diam saja terkepung asap yang kian menyesak. Gilang hanya bisa terduduk di tanah, pasrah.

“Aku mencintai mu Gina..., Kala bara membakar sisa duka ku, aku masih di sini untuk mu. Tunggu aku Gina, akan ku jemput engkau disana, membawa mu kedalam surga yang kau berikan untuk menjadi milik ku.” “Aku mencintai mu Ginaa....” satu kalimat terakhir sebelum lembaran papan terbakar menimpa Gilang, membakarnya bersama kenangan dan luka yang tak kan tergantikan. Membakarnya bersama bara menyala yang tak akan pernah terpadamkan. Bersama putus asa yang dulu tak pernah diajarkan.

Sementara jauh di tengan hutan, di balik akar jati yang tinggi menjulang menyentuh langit, terdengar lirih dari gadis yang terluka lengannya terduduk sendiri, dengan darah yang keluar dari selangkangan dan mulut, biru di payudaranya, terisak menanggil satu nama. “Gilaaaaaang............Gina takuuuut”

Balikpapan 18 February 2009

di atas kursi yang rapuh

oleh : Sadhana

terduduk ku terdiam
ketika di uar orang sibuk menyalakan kembang
menetaskan kebisingan dari api-api yang tak kunjung padam

di selembar kertas kutulis cinta yang pupus
dalam hati kuteriak
ku tak ingin berpisah

seribu puisi takkan mampu mengungkap remuk hatiku
seribu panggilan kubuat
tetap jua tak terjawab
perih saat kudengar lirik lembut nada sambungmu

hatiku cuma ada satu sudah untuk mencintaimu
tolong jangan sakiti lagi nanti aku bisa mati
cintaku cuma sama kamu sayangku cuma untuk kamu
tolong jangan hancurkan lagi nanti aku bisa mati

terduduk ku terdiam
di atas kursi yang rapuh
hikmah telah tertampar luka yang tak pernah terjawab
ketika di luar orang sibuk menyalakan kembang
menetaskan kebisingan dari api-api yang tak kunjung padam

Pencuri Malam

Pagi ini aku diserbu oleh ribuan kupu-kupu
Yang berlari dari kadang buasmu
Menujuku, dan mulai menari dalam kemarahannya

Siang hari aku menjumpai debu-debu yang cemburu padaku
Berhembus tajam memagari langkahku
Menghujamku dengan penuh curiga

Dalam senja cahaya kemerahan seakan membentuk gugusan api
Lagi-lagi membahana meneriakkan namamu

Satu dunia kupetik dari jendela senjamu
Begitu indah kemilau bintang itu mengguyur cahaya hangat untuk mataku
Dan memutuskan untuk menyimpan semuanya hanya untukku


* sophie razak

Senja

Saat langit menelan matahari
Langit sesak dipenuhi jingga
Sebentar saja, lalu senja itu pergi

Bulan kelam tersenyum
Bintang berbaris menemani
Sebentar saja, lalu malam lekas berganti

Sepi kembali kembali membelai
Gelap mencemarkan rindu

* sophie razak

Sarapan Yang Pergi

: sendiri

Yang tertinggal kini hanya pisau
Yang tertinggal kini hanya roti dingin
Yang tertinggal hanya meja makan sepi
Sepertinya semua indera hampir buta

Yang tertinggal hanya susu tadi malam
Yang tertinggal hanya rambutmu sehelai
Yang tertinggal hanya aku
mimpi sendiri


Lovie Gustian
Balikpapan 28 April 2009
09:40 AM