Jumat, 08 Mei 2009

Cahaya Memukul Daun

: generasi hijau


Aku melihat bayang di dalam matamu. Karena setiap bayang yang ada, juga ingin aku punya. Bayang yang selalu memandang seperti membacaku. Yang hanya diam tak bergerak, ia akan tetap seperti tiang pembaca makna. Makna yang gemar sekali bersuara. Makna yang sering kau dengar ketika masuk dalam sebuah rimba raya. Sambil berjalan membawa gumpalan daging dan darah agar sampai ke tengah. Supaya bertemu dengan setiap makna yang kau dengar, juga yang ingin aku temui.

Dan di rimba raya (di tengah setiap makna yang kau dengar, dan ingin kau temui itu), kau tampak berbaur, bercampur dan menyatu. Sambil bersuara nyaring melengking. Jadinya, suaramu pun dibuar makna. Seperti buaran bentangan cahaya. Cahaya yang balik menerangi matamu. Dan matamu pun terus melihat apa saja yang dilihatnya. Menerangi dengan sesukanya. Dan menerangi dengan cara yang berbeda.

Belukar tak berakar, pohon tak berdaun, hewan-hewan jadi liar, bumi bertambah panas, orang-orang beringas. Merobek dan menghancurkan setiap jengkal rimba raya. Merubahnya jadi tak tentu. Dan dengan cahaya itu, kau tetap berdiri tegak sejajar keangkuhan yang menghancurkan semuanya.

“Dan apa cahaya semacam itu tak berbalik?,” aku bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja menerangi dengan cara yang berbeda. Sampai akhirnya, aku merasa (dan juga melihatnya), semesta telah mendering cahaya. Berganti dalam cahaya-cahaya yang tak terduga. Cahaya yang memukul daun (apa kita juga mesti kebingungan?) diantara semua itu, aku pun meminta balik bayang yang telah lama menatapku. Dan saat dia melihatku aku merasa itu bukan bayangmu. Sebab bayang itu terlalu berambigu bagi diriku.


Lovie Gustian
Balikpapan 26 April 2009
02:40 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar