Jumat, 08 Mei 2009

Se-Putih Hati

Balikpapan 14 April 2009

Oleh: Rizky Nuryaning Diah

“Ibuuuuu….!!” teriakan keras gadis itu menyentakku. Aku terlonjak, meski tak dapat melakukan apapun.

”Ada apa sih Ca...” wanita separuh baya yang dipanggil ibu tergopoh-gopoh mendatangi gadis itu.

”Ini...” rengeknya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arahku. Tatapan matanya begitu tajam.

”Tinggal diusir aja susah banget sih.” wanita itu lantas mengibaskan tangannya untuk memintaku menjauh.

Akupun beranjak meninggalkan sepotong ikan yang belum selesai kusantap. Sejenak aku menoleh untuk memastikan keberadaan gadis itu. Barangkali aku masih bisa kembali untuk menyelesaikan santapanku.

Ternyata gadis itu masih terus menatapku. Tatapan yang lembut tapi sangat tajam. Nyata sekali ia tak mengharapkan kehadiranku. Padahal aku hanya berusaha untuk melanjutkan hidupku. Aku tak ingin mati kelaparan. Setidaknya aku ingin mati dalam keadaan yang baik, sama seperti manusia.

”Jangan kesini lagi...” desis gadis itu sambil terus menatapku. Memang tak ada gunanya aku tetap berada disini. Toh, aku tak mungkin lagi mendapatkan jatah makan. Semoga saja ada rumah lain yang menerimaku dengan lapang dada. ”Aku nggak suka binatang.” tatapnya nanar. Akupun melengos, sekedar untuk menegaskan bahwa aku tak akan mengganggunya lagi. Aku sudah sangat berterima kasih atas sepotong ikan yang akhirnya bisa mengisi lambungku yang telah 2 hari ini kosong.

Cukup wajar bila gadis itu tidak menyukaiku. Gadis itu sangat rapi, harum dan bersih. Sementara aku, dekil dan bau. Bulu-buluku yang berwarna putih menjadi kecoklatan. Belum lagi beberapa luka menganga yang ada ditangan dan kepalaku. Sangat menyedihkan. Sebagai salah satu penghuni bumi, aku tak hanya berhadapan dengan manusia, tapi juga sesama binatang yang juga sibuk mempertahankan kehidupan. Tapi aku masih bersyukur bisa menikmati hidup. Bagiku bisa menghirup udara saja adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan.

*********************

Siang ini begitu terik. Bersyukurlah aku memiliki bulu-bulu yang melindungi pori-pori tubuhku hingga tak langsung merasangan sengatan panasnya. Aku yakin, Penciptaku telah sesempurna mungkin menciptakanku.

Aku merebahkan tubuhku yang bersimbah penat di atas sebuah kursi taman. Tempat yang sangat nyaman. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk binatang sepertiku. Tak hanya aku, tapi juga ada beberapa binatang yang tengah bersantai di taman ini.

Meooong.... mmeeeooong....

Kami saling bersapa dengan sebuah lengkingan. Itulah cara kami berbicara. Cara yang telah ditentukan sang Pencipta kepada makhluk seperti kami.

”Aduuhhh... tempat duduk kita sudah dikuasai. Telat deh!” seru gadis berjilbab biru muda kepada seorang gadis sebayanya yang mengenakan jilbab warna putih. Mereka terlihat sangat teduh, anggun dan penyayang.

”Ya sudah, kita cari tempat duduk lain aja. Kasihan, sepertinya dia sedang istirahat. Jangan diganggu.” gadis yang berjilbab putih itu meraih tangan gadis yang berjilbab biru muda. Sepertinya mereka mengiraku sedang terlelap. Padahal aku memang terbiasa beristirahat dengan menutup kedua kelopak mataku.

Kedua gadis itu berlalu meninggalkanku dan beralih menempati tempat duduk yang berada tak jauh dari kursi tempatku bercengkerama. Terlihat mereka begitu asyik bercanda dan bercerita. Tapi gaya bicara mereka berbeda dengan yang gadis-gadis seumuran mereka yang kerap kujumpai di jalan-jalan. Lebih tertata dan menyejukkan.

Sesekali mereka tertawa riang dan membenahi letak jilbab yang mereka kenakan. Senyum merekapun tak kalah meneduhkan. Sayangnya aku tak tau bagaimana cara tersenyum. Padahal aku ingin sekali menyunggingkan senyum seperti yang bisa manusia lakukan. Entah mengapa banyak manusia yang tak bersyukur atas karunia senyum yang telah dianugerahkan kepadanya. Padahal, dibeberapa kesempatan aku pernah mendengar bahwa senyum itu adalah sedekah dan sedekah adalah sebuah ibadah. Berarti senyum adalah ibadah.

”Eh, dasar nggak punya otak!! Kursi ini dibuat untuk manusia, bukan buat binatang! Kamu itu kotor! Bau pula! Ihh...” cemooh seorang gadis berambut pirang merusak istirahatku.

Aku menggeliat. Masih tak ingin beranjak. Luka-luka ditubuhku masih terasa sakit. Mungkin karena saat diperjalanan tadi aku sempat terinjak oleh seorang Bapak yang tidak menyadari keberadaanku.

”Eh, nggak tau diri banget sih?! Pergi sana!” seru seorang gadis yang bertubuh langsing bak model yang sering muncul ditelevisi.

Tangan gadis berambut pirang menjawil telingaku dan melemparkanku ke semak-semak yang berada di belakang kursi yang tadi kududuki.

Meooooooooong...

Lengkingku panjang. Menahan sakit yang semakin menghujam. Perlakuan seperti ini telah sering kualami, hingga aku cukup kebal mnghadapinya. Manusia memang susah ditebak.

”Allahu akbaar!! Mbak jahat sekali...” gadis berjilbab putih bangkit dari tempat duduknya dan merengkuhku.

”Siapa kamu? Kita kenal? Atas dasar apa kamu menyebut saya jahat?”

”Saya Nayla Putri, panggil saja Putri. Yang itu teman saya, namanya Kira.” ia memelukku erat. Bahkan ia tak terlihat jijik sama sekali dengan keadaanku. ”Masya Allah mbak, binatang itu juga makhluk ciptaan Allah. Mbak nggak berhak kasar seperti itu. Lagi pula, binatang semanis ini adalah binatang kesayangan Nabi.”

”Hah?! Dekil gini dibilang manis? Kamu buta?“

"Dekil itu hanya karena lingkungan mbak. Itu karena hidupnya tidak terurus. Sama seperti manusia. Jangan hanya karena dekil, lantas kita tidak mengasihinya!”

”Atur saja lah. Yang pasti dia nggak ganggu kita!” timpal gadis bertubuh langsing, menengahi.

Gadis yang kini kuketahui bernama Putri itu lalu membawaku menjauh dari taman. Temannya, gadis berjilbab biru muda bernama Kirapun ikut serta.

”Mau dibawa kemana, Put?” Kira menyentuh kepalaku hangat. ”Masya Allah..!!” ia terkejut begitu mendapati luka yang ada di bagian kepalaku.

”Biar kita obati di rumahku.” Putri semakin mempercepat langkahnya.

*********************

”Ibuuu!!!” teriakan nyaring itu membuatku terlonjak. Andai saja aku memiliki penyakit jantung seperti manusia, pasti aku telah mati karenanya.

”Kenapa lagi Ca?” wanita separuh baya itu kembali muncul dihadapanku. Sepertinya aku baru saja mengalami hal serupa.

”Kak Putrii...” gadis itu kembali merengek. Ada bulir bening menyeruak dikedua pelupuk matanya.

Putri tak menggubris perlakuan gadis itu. Ia bergegas membawaku ke ruang lain di rumah yang sama. Lalu ia meletakkan aku di sebuah sofa. Tangannya dengan sigap meraih kotak bertuliskan P3K yang terletak tepat di samping sofa. Temannya yang sedari tadi bersama kami kini telah kembali ke rumahnya. Sepertinya ia tengah terburu-buru. Mungkin ada sesuatu hal yang harus segera ia selesaikan.

”Kakak kenapa bawa dia??” tangis gadis itu pecah.

”Kakak kasihan. Dia membutuhkan pertolongan. Kalau tidak bisa saja dia mati!” Putri dengan sigap mengobati luka demi luka yang ada ditubuhku.

”Kakak tau kan?” gadis itu sepertinya memang menjaga jarak dariku. Mungkin ia alergi terhadap binatang.

”Tapi dia juga ciptaan Allah Ca. Masa kakak tega membiarkan dia seperti ini? Sekarang Caca fikir deh, seandainya Caca mendapati Kakak lagi kesakitan di jalan. Apa Caca tega meninggalkan kakak?”

”Kakak nggak sama dengan dia. Kakak manusia...”

”Lantas apa karena dia binatang? Caca harus tau, binatang itu juga memiliki hak untuk hidup dan sebagai sesama makhluk, kita juga memiliki kewajiban untuk saling menolong.”

”Iya... tapi Caca nggak mau gara-gara Kucing di rumah kita, lalu kita nggak bisa punya anak. Kak Putri tahu kenapa istrinya Mas Hamdan dicurretage?”

”Setahu kakak, karena kandungannya lemah.” Putri kini beranjak membersihkan tubuhku.

”Kakak salah. Yang benar itu, karena terjangkit virus yang dibawa sama Kucing!” seru Caca sambil menunjukku.

”Karena parasit Toxoplasma Gondi? Nama penyakitnya Toxoplasma.” Putri melirik Caca yang terus menatapku tajam. Seperti belati yang siap membelahku. Sebegitu bencikah ia?

”Setahu Kakak Toxoplasma merupakan penyakit yang menyerang hewan dan manusia, laki-laki ataupun perempuan. Memang, Toxoplasma juga menyerang Kucing.”

”Tuh, bener kan?!” Caca semakin memojokkan kehadiranku.

”Iya, tapi bukan Kucing penyebab utamanya. Sebenarnya Kucing hanya menjadi kambing hitam dalam masalah ini. Itu semua karena dalam tubuh Kucing Toxoplasma berkembang biak dengan 2 cara, dengan mikro dan makro gamet dan dengan membelah diri. Oleh karena itu, Toxoplasma menjadi berkembang pesat jika berada dalam tubuh Kucing. Efeknya memang ganas. Karena walaupun pada awalnya hanya menyerang kelenjar getah bening, Toxoplasma lama kelamaan dapat menyebabkan kemandulan.”

Aku benar-benar merasa terpojokkan. Jika tak memiliki manfaat, lalu mengapa aku diciptakan? Manusia memang beruntung karena tercipta paling sempurna. Hidup dalam kesatuan yang utuh dan kokoh, dapat saling menyayangi. Sedangkan binatang? Makhluk sepertiku memang memiliki keluarga sama seperti manusia, tapi jelas saja ada perbedaan yang sangat mencolok. Bahkan jika ditillik dari sisi manapun. Sekali lagi pertanyaan itu menyeruak. Mengapa manusia masih saja tak bisa bersyukur? Seandainya saja, tiba-tiba sang Pencipta mentakdirkan manusia menjadi binatang, mungkin manusia akan lebih memilih mati bunuh diri.

”Lalu, kenapa Kakak masih bertahan dan biarin dia ada di rumah kita?”

”Ca, masa depan itu rahasia Allah. Kita sebagai manusia hanya sebagai lakon. Berserah dirilah pada-Nya. Pasti akan ada jalan terbaik. Kakak hanya berusaha menjalankan perintah untuk menyayangi dan mengasihi sesama makhluk. Bukan sengaja mencari penyakit. Lagi pula Caca nggak lupa kan? Kucing ini binatang kesayangan Nabi lho. Buktinya Nabi punya banyak keturunan tuh. Iya kan?” Putri mencoba menyakinkan adiknya.

”Mungkin zamannya Nabi Muhammad belum ada Toxoplasma.”

”Ngarang kamu!! Udah lah... jangan bahas yang aneh-aneh gitu. Intinya kita menolong dengan niat karena Allah. Atau... Caca takut dicakar ya?”

”Bukaaaann... Caca Cuma nggak rela kalau jatah ikan Caca berkurang karena ada dia.”

Putri tersenyum.

Akupun melengking panjang. Sekedar untuk mengucapkan rasa terima kasih.

Meoooooooooooooong...

*********************

”Ibuuuu...!!” teriakan itu kembali mencipta kegaduhan. Tapi bedanya teriakan itu tidak ditujukan kepadaku.

”Kenapa sih Ca? Si Putih kan lagi sama Kakak.” Putri membawaku berlari mendatangi Caca yang berdiri mematung. Si Putih itu nama yang diberikan Putri untukku.

”Ituu...” desis Caca sambil menunjuk ke meja makan. Sempat ku tatap air matanya banjir tak terbendung lagi.

Meooong... meong... meong...

Suara itu tak berasal dari dari tenggorokanku. Tapi berasal dari 3 ekor kucing kecil yang asyik menyantap makanan yang terhidang di meja makan. Satu berbulu belang putih dan coklat sementara yang lain berbulu putih. Ternyata mereka adalah anak-anakku yang hilang. Akhirnya aku bertemu lagi dengan mereka.

Meoooooooooong...

Seruku untuk menyambut kedatangan mereka.

”Bu... rumah kita kok jadi rumah singgah untuk Kucing sih?” Caca memandangi anak-anakku nanar.

Senyum Putri mengembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar